[0] Prolog - Tragedi Konyol

28 6 3
                                    

Ruangannya putih, bersih, dan ... bau obat-obatan. Hm, benar-benar kayak rumah sakit.

Ada ranjang, infus, dan P3K. Mirip banget!

Aku harap aku enggak lagi di rumah sakit. Aku benci warna putih! Aku benci baunya! Aku nggak suka pokoknya! Kalau bukan gara-gara si Biang Kerok Bian, aku nggak akan mungkin nginep di tempat horor kayak gini!

Beberapa jam sebelumnya....

"Eh Bi, pinjem pisau dong!" Bian, cowok putih, tinggi, rambut hitam, yang lagi main sama hamster abu-abunya itu noleh ke aku.

"Pisau? Buat apaan?" tanya Bian sambil mengernyitkan dahi.

Bian menaruh hamster kesayangannya itu ke tempatnya lagi. Dia berdiri dari posisi duduknya yang bisa aku bilang aneh; kaki kanannya tegak berdiri mengapit paha kirinya, sementara kaki kirinya ditekuk ke belakang. Memang aneh itu anak!

"Ada deh. Aku ambil di dapur ya!" Tanpa dapat izin dari Bian aku langsung pergi ke dapur. Hm, rumahnya Bian memang besar. Nggak kayak rumahku. Apalagi dapurnya bersih banget, beda sama dapurku yang kompornya saja sudah karatan, gasnya suka bocor, atapnya hampir runtuh, ..., apalagi ya?

"Eh jangan sembarangan ngambil dong!" kata Bian menginterupsi deskripsi dapurku yang super norak. "Balikin sini pisaunya, itu punya Mama gue."

"Lah, memang ini semua punya Mama kamu kan?" kataku sambil merentangkan tangan ke segala penjuru rumah.

"Iya, sih. Tapi jangan ambil pisau yang itu, kesayangan Mama gue. Kan lo kalau pinjem balikinnya ngaret!" sindir Bian sambil bersedekap dan memutar bola mata.

"Masa, sih. Engga deh kayaknya!" sergahku sembari mengingat-ingat.

"Terserah. Memang buat apa sih itu pisau?" tanya Bian penasaran.

"Aku mau ..., ah malu bilang aku."

"Tinggal bilang aja, elah!"

"Rahasia!"

"Ya udah, nggak gue pinjemin pisau!"

"Kok gitu sih? Aku itu mau buat prakarya! Nanti kalau nggak selesai gimana? Kan ngumpulnya besok. Huh, Bian pelit!" kataku kesal. Memang songong itu anak.

"Oh, cuma prakarya. Kirain buat apaan," Bian mengambil pisau lainnya yang ada di dapur, "pake ini aja nih! Itu kan pisau daging, nggak cocok kali buat prakarya."

Bian mengambilkanku pisau yang bentuk besinya kotak dan bagian tajamnya bergerigi.

"Nggak mau! Itu kan pisau roti."

"Daripada pisau daging. Yang ada malah tangan lo yang luka!" kata Bian membuatku terbang.

"Ah Bian, perhatian banget kamu sama aku."

Bian bergidik jijik dan menggeser posisinya perlahan menjauhiku. Lucu sekali!

"Gue masih normal kali, Il!" seru Bian sembari terus menjaga jarak aman.

"Ah, sekarang panggil nama aku, lagi. Jadi tambah ...," ucapanku terpotong seketika karena jari Bian tiba-tiba berada di depan bibirku.

"Syut! Nggak usah ngomong lagi. Gue kesel denger suara lo!" seru Bian.

Aku menepis jarinya. Nggak sengaja kejilat lagi itu jari. Kok rasanya agak ... pesing? Habis ngapain itu anak.

"Ih pesing, Bi! Kamu habis megang apa sih?" kataku sembari mengusap bibir.

"Pesing apaan? Bibir lo kali yang bau!" kata Bian menepis perkataanku.

"Pesing beneran, Bi! Kamu habis ngompol ya?" tebakku asal.

"Oh iya!" katanya. Bola matanya terbuka seketika, kayak orang lagi kesurupan.

"Ih bian ngompol."

"Bukan, bego! Tadi gue habis main hamster belum cuci tangan. Jadi ... kayaknya tangan gue kena air kencingnya deh," kata Bian yang bikin aku langsung mual.

"Ih Bian jorok! Nanti kalau aku sakit gimana! Pokokknya kamu harus tanggung jawab!"

"Lebay lo! Jadi laki jangan melambai dong, Il. Dasar Mail, temennya upin-ipin!" ejeknya sembari menjulurkan lidah.

"Ya udah, ya. Aku bawa dulu pisaunya besok atau lusa baru aku kembaliin," kataku sembari melangkah keluar dapur.

Tapi tiba-tiba ada tangan yang menghalangiku pergi. Tangannya Bian. Ngapain, sih itu anak. Ganggu orang mau lewat aja.

"Apaan lagi, Bi?" tanyaku kesal.

"Pisaunya tuker dulu. Lo pake yang ini aja, itu kegedean, Mail!" kata Bian manggil namaku lagi di akhir kalimat.

"Iya deh, iya!" Aku menurut dengan setengah terpaksa. Padahal pisaunya bagus, besar, mengkilap. Cocok deh buat prakarya aku bikin maket.

"Ya udah balikin buruan!" seru Bian menyuruh aku mengembalikan pisau kesayangan mamanya cepat-cepat.

Aku berbalik ke tempat Bian berdiri dan menaruh pisau daging itu dengan hati-hati yang hatinya tidak setengah-setengah. Dengan perlahan tapi pasti pisau iti akhirnya kembali ke tempatnya dengan selamat.

Sebelum aku menarik kembali tanganku dari tempat penuh pisau itu, Bian tidak sengaja menyenggol lenganku ketika ia dengan tiba-tiba mengembalikan pisau roti itu ketempatnya.

Tes!

Setitik cairan merah jatuh ke atas meja keramik dapur. Dua tetes, tiga tetes, 4 tetes, dan semakin banyak.

"Da-darah! Bi, ada darah!" teriakku pada Bian tak keruan.

"Darah apaan si--" ucapan Bian terpotong ketika ia menoleh ke pergelangan tanganku yang mengucurkan darah segar.

"Mail, kok lo bisa terluka gini, sih? Kan udah gue bilang, hati-hati!" omel Bian memarahiku. Memangnya siapa yang menyenggol lenganku? Dasar tak tahu diri! Tapi ini bukan saatnya untuk menyalahkam Bian.

Ini saatnya untuk bilang, "Panggil Ambulans!"

Mendengar kata ambulans membuat perutku mencelus. Aku benci segala hal yang berhubungan dengan rumah sakit. Tapi aku tahu, ini parah. Bisa-bisa tanpa diketahui urat nadiku terpotong dan aku terancam ... tak tertolong. Tanpa berkata lagi Bian langsung mencari telepon dan menekan nomor-yang-aku-tidak-tahu-berapa.

"Bian ... mata aku berkunang-kunang! Aku ngantuk banget, Bi. Aku boleh tidur, nggak?" tanya aku sembari menguap sementara darahnya masih terus keluar.

"Eh, jangan! Tangan lo di taruh di wastafel. Biar darahnya nggak ke mana-mana," jelas Bian melarangku tidur.

Mata aku rasanya berat banget. Kayak nggak tidur seminggu. Hoam, aku pengen tidur. Tidur. Aku pengen tidur.

Dan akhirnya tubuh aku nggak kuat, aku limbung dan terjatuh. Dadah, Bian! Aku tidur dulu, ya!

÷÷÷

Cerita freak yang ... garing. Iya tau kok. Baca aja dikala boring.

BAAM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang