Dirga : Cause I'll Be Your Home

59 11 0
                                    

HARI YANG MELELAHKAN. Entah kenapa badan mendadak sakit. Leher juga pegal. Kayaknya efek keasyikan nonton televisi sambil tengkurap di sofa dengan posisi kepala noleh ke satu arah. Fix, salah bantal. Mana dari tadi gue nggak berhenti menguap. Berkali-kali ngucek mata. Penyakit keramat banget setiap pulang ke rumah; ngantuk.

Kalau bukan karena harga diri, tanpa pikir panjang langsung aja cus ngebo di kamar. Tapi, nggak deh. Masa seorang Nandana Dirga baru jam sembilan tepar duluan. Tolong banget ini mah, banci pengkolan aja belum berkeliaran dan masih siap-siap dandan.

Nggak elit banget raja begadang kayak gue tumbang gara-gara kekenyangan. Eh, benar juga, bukannya tadi gue habis makan kangkung ya? Anjir, pantes aja mata lengket kayak dikasih lem super. Oke, gue butuh secangkir kopi sekarang.

Tapi rasanya nggak perlu juga. Gue terlanjur nyaman dengan posis punggung rebahan di tempat empuk tapi sedikit keras, mana wangi lagi.

Kasur kualitas super sampai kasur lipat di kostan nggak ada tandingannya sama tempat rebahan gue sekarang. Jelas kalah telak. Sedikit nggak tahu diri gue menyamankan posisi, punggung gue menekan sedikit yang entah kenapa kok berasa mau jatuh ya?

"Dir...ga, berat!"

Kayaknya gue mendengar suara yang nggak asing. Mungkin halusinasi gue aja. Ini pasti efek capek karena kemarin bantuin Jingga begadang sampai jam 12 malam. Tumben banget sebelum Shubuh kebangun dan gue langsung ngerjain beberapa pekerjaan rumah.

"Ga, punggungku sakit!"

Nah, suara itu lagi. Gue menatap plafon rumah dan berpikir sejenak. Begitu mau cari sumber suara, tempat gue rebahan berubah jadi keras dan mendorong gue ke depan. Otomatis gue yang nggak ada tenaga tersungkur dengan tidak elitnya.

Sedetik setelah membalikan badan untuk memastikan, gue disambut ekspresi marah Jingga. Sialan. Baru inget gue kalau dari tadi rebahan di punggung dia.

"Maaf, nggak sengaja, hehe.”

Gue sungkem di kakinya tapi Jingga malah makin judes, bikin gue gemas dan pengin cubit pipinya. Tapi nggak deh, Jingga lagi dalam kondisi bad mood, bisa jadi daging kornet kalau gue cari perkara.

"Maaf, maaf! Punggungku pegel nahan berat badan kamu tau!"

"Sini, sayangku, biar aku elus punggungnya."

"Nggak mau. Yang ada makin linu dipegang tangan raksasa kamu."

"Daripada kamu kesusahan ngelus pake tangan sendiri. Atau mau aku pijet?"

"Gila kali ya? Kalau punggungku remuk, emang kamu mau tanggung jawab?"

Buset, serba salah banget jadi gue. Untuk informasi, bagi kaum laki-laki mempunyai telapak tangan dengan ukuran besar dan lebar adalah kebanggaan. Sama halnya perempuan yang bangga bisa menahan dua gunung kembar bervariatif ukuran.

Jangan asal nyebut dan meremehkan ya. Fakta mengatakan telapak tangan laki-laki yang besar dan kokoh sering dijadikan objek fantasi liar para perempuan jomblo di luar sana.

Bukannya luluh setelah gue tatap selembut sutera, Jingga malah melotot. Alhasil gue cuma bisa diam kayak habis ketahuan maling celana dalam. Setelahnya Jingga nggak marah-marah lagi, malah kembali sibuk dengan kegiatannya.

Sesuai kesepakatan tadi sore, Jingga memberikan wejangan supaya Pusaka nggak dapet nilai 50 lagi di pelajaran Matematika. Rasa kantuk perlahan menghilang dan digantikan penasaran. Gue perhatikan dua makhluk ciptaan Tuhan yang dilahirkan hampir mirip itu. Sesekali mendengus geli melihat Jingga yang emosi karena menghadapi kelemotan Pusaka dalam berhitung.

"Tadi Mbak jelasin nggak didengerin ya? Ini kan tandanya kurangi, kok ditambah?"

"Sejak kapan 5 ditambah 6 hasilnya 15? Saka serius dong! Jangan meleng gitu, fokus! Liatnya ke buku, jangan ke Mbak!"

Ephemeral : Can't Leave You AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang