0 - Malam Musim Semi

81 10 3
                                    


Saat aku merasa hidup mulai tak berarti, warna-warna di duniaku seakan semakin memudar, angin musim semi tak semenyejukkan biasanya. Malam itu kau muncul dari balik jendela besar tempat soon-to-be gelato shopku saat aku hendak mencicipi gelato yang akan menjadi usahaku nantinya, dengan wajah yang sama sekali tak dapat ku baca. Dan kau tak memalingkan wajah dengan malu saat mata kita bertemu, kau justru semakin menatapku dengan wajah misteriusmu itu.

"Kau mau mencoba ini?" tanyaku ragu sembari menunjuk gelas kecil di tanganku yang berisi gelato rasa greentea pada gadis itu. Mata gadis itu membulat semangat dan mengangguk. "Masuklah."

Gadis itu masuk dengan sedikit menundukkan kepalanya dan duduk di kursi yang ada dengan pelan dan sopan. Aku hendak memberikan gelasku tadi padanya hingga ia berucap, "Almond," sambil menunjuk gelato berwarna coklat muda yang masih ada di mangkuk percobaanku itu.

Wajahku mungkin masih menunjukkan ekspresi bingung luar biasa, namun aku menuruti gadis itu, memberikannya satu scoop gelato almond yang sebenarnya bahkan belum kucicipi. Gadis itu menerima gelas dariku dengan dua tangan, sangat sopan untuk seorang gadis muda masa kini-orang tuanya mendidiknya dengan sangat baik sepertinya.

Aku terus menatapnya, lebih tepatnya menanti ekspresi apa yang akan dibuatnya. Tersenyum lebar? Tertawa bahagia? Atau marah karena tidak enak? Dan, semuanya salah.

Gadis itu membelalakkan matanya dan membuka mulutnya lebar-lebar, namun menunjukkan ekspresi bahagia luar biasa. Hal itu membuatku terkekeh pelan untuk pertama kalinya setelah kejadian 'itu'. Gadis ini luar biasa hebat, dapat membuat ekspresi bahagia tanpa harus tersenyum ataupun tertawa.

Aku duduk didepannya dan menopang dagu menikmati ekspresi wajah gadis aneh dihadapanku itu, tak banyak berekspresi namun aku dapat tahu cukup jelas bahwa ia bahagia. Dan ia bahagia karena gelato buatanku.

"Enak? Aku belum sempat mencicipi yang rasa almond."

"Enak." Aku mengernyitkan dahi penuh rasa tidak puas dengan jawabannya.

"Kau pencoba pertama."

"Iya, saya tahu itu."

"Hanya begitu?" Aku mulai gemas namun tanpa sadar terus tersenyum padanya. Gadis itu tampak memiringkan kepalanya sedikit dan menatapku dengan bingung.

"Lalu harus bagaimana-Ah." Lagi-lagi gadis didepanku ini membuat ekspresi tidak biasa, seperti terkejut yang teringat sesuatu hal penting namun tetap santai dan ekspresinya tak berubah banyak.

"Kenapa?"

"Karena saya sudah menjadi pencoba pertama...," Aku terus berusaha menebak apa yang gadis itu inginkan. Mendapat gelato gratis setiap minggu? Mendapat diskon lima puluh persen atau lebih? Dan lagi-lagi semua tebakanku salah. "Izinkan saya bekerja disini saat tempat ini sudah dibuka."

"Bekerja?"

"Part-time, tentunya. Dari sore hingga tutup," jawabnya memperjelas. Aku kembali terkekeh pelan merasa konyol karena terus berusaha menebak pikiran gadis itu. "Ya?"

"Baiklah," ucapku yang anehnya langsung setuju begitu saja.

"Ah, saya Lucyna Krakowski, 20 tahun, mahasiswi Psikologi University of Warsaw," ujarnya berdiri dan membungkukkan tubuhnya dengan sopan dan jelas memperkenalkan dirinya. Aku tertawa pelan secara diam-diam dan menyuruhnya kembali duduk.

"Vincenty Sniegowski."

"Ah, senang bertemu denganmu, Szanowny Panie Vincenty." Sudah sangat lama tidak mendengar orang-orang memanggil dengan formal seperti itu, terlebih lagi untuk gadis muda seperti Lucy.

"Vincent saja, Lucy. Aku cuma dua tahun lebih tua darimu." Dia hanya menggeleng pelan dan aku hanya menanggapinya dengan tawa pelan.

Kemudian Lucy mulai membuka bicara padaku tentang idenya membuat cookies yang dapat dinikmati bersamaan dengan gelato ini. Ia menjelaskannya dengan singkat dan hati-hati namun entah mengapa setiap ucapannya dapat membuat bibirku melengkungkan sebuah senyuman yang semakin lama semakin lebar.

Sejak itu, sepanjang hari aku menemukan warna baru di hidupku.

***

WintersweetWhere stories live. Discover now