1 - Awal Musim Dingin

79 9 5
                                    


Lucy menatap ponselnya sembari melangkahkan kakinya dengan sibuk, beberapa buku berada di lengan kirinya dengan tangan kanan yang sibuk mengetik sesuatu. Ia menghela napas berat selesai mengetik, jadwal ia harus datang mengajar menjadi guru les dimajukan. Lucy mengusap rambutnya pelan, berusaha memikirkan jalan keluar agar ia tetap ada absen di kelas. Titip absen? Hmm, tidak, tidak. Punya teman saja—

"Hei, gadis itu manis. Siapa namanya? Kenapa aku baru lihat?" Telinga Lucy cukup tajam untuk tahu bahwa dua laki-laki yang ada di depan dengan jarak cukup jauh darinya sedang membicarakannya, dari gelagat serta tatapan laki-laki itu padanya tentunya.

"Ah, dia... Memang manis tapi sangat anti sosial dan kuno hingga kau bahkan tak sadar dia sering satu kelas denganmu, kan?" balas teman disampingnya terkekeh meledek. Lucy sedikit terdiam namun berusaha mengabaikannya dengan terus melangkah. "Ada rumor ia bekerja saat larut malam. Lebih baik cari perempuan lain lah!"

Tangan Lucy mencengkeram erat buku-bukunya, menundukkan kepalanya, dan melangkah cepat untuk ke kelas berikutnya. Hal seperti itu sesungguhnya sudah sangat biasa baginya. Namun, terkadang tetap terasa menyakitkan ketika ia mendengarnya secara langsung. Toh, Lucy memiliki alasan untuk menjadi seperti ini, dan semua rumor itu salah besar,

Lucy menggelengkan kepalanya berusaha mengusir segala kekhawatirannya. Biarkan saja mereka menjauh, tidak ada ruginya juga untuknya. Yang terpenting sekarang adalah tugas-tugas dan jadwal part-timenya yang sedang sedikit kacau.

Lucy memang bukan dari keluarga yang mapan, untuk meminta uang lebih pada orangtuanya saja ia tak tega. Masalah biaya kuliah, ia mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Namun untuk biaya sehari-hari dan uang tambahan yang mungkin dapat ia hasilkan untuk ditabung, ia harus melakukan banyak part-time setiap harinya. Makanya, ia tak memiliki waktu untuk bersenang-senang, bercanda gurau, ataupun aktif dalam kegiatan kampus seperti anak-anak lainnya.

Sifat Lucy yang cenderung pendiam, atau lebih memilih untuk diam, serta cara bicaranya yang masih menggunakan bahasa formal pada siapapun, membuat teman-teman sebayanya mungkin merasa canggung dengannya. Entahlah, Lucy pun tak paham apa yang salah dengannya, ia sama sekali tidak mengerti bahasa-bahasa baru yang digunakan remaja jaman sekarang. Orang tuanya tak pernah mengajarinya, dan ia tak sempat untuk berada di sosial media pula. Paling-paling hanya email untuk masalah tugas dan pekerjaan sampingannya.

Namun, bukan berarti Lucy menggunakan baju kuno atau compang-camping ke kampus. Baju-bajunya memang tidak mahal, tapi ia pandai memadu-padankannya. Ponsel yang ia gunakan juga bukan ponsel kuno yang hanya bisa mengirim pesan singkat, hanya saja ia malas untuk menggunakan aplikasi yang orang-orang bilang kekinian.

"Lucy, setelah kelas terakhir, kelompok kita mau ke café dekat kampus buat sekalian ngomongin tugas makalah, kau bisa?" tanya ketua dari kelompok tugas makalahnya ketika Lucy baru saja mengistirahatkan bahunya di bangkunya.

"Saya sungguh minta maaf, tapi—kirimkan saja tugas yang harus untuk kukerjakan lewat email," jawab Lucy refleks berdiri dan membungkukkan tubuhnya beberapa kali. Samuel—ketua kelompoknya itu, dengan canggung ikut membungkukkan tubuhnya dan menghentikan Lucy.

"A-ah, tidak perlu seperti itu. Iya, engga pa-pa, kok. Lagian, biasanya kau yang paling aktif. Jadi sesekali engga datang juga engga pa-pa," balas Samuel tersenyum pelan. Lucy hanya menundukkan kepalanya dengan canggung tanpa membalas apapun. "Baiklah, nanti aku kirim email. Besok kalau bisa selesai ya?"

Lucy mengangguk pelan dan Samuel pamit balik ke bangkunya. Setidaknya, memang ada beberapa orang yang dapat memahaminya dan bersikap baik padanya. Namun, tetap saja, ia tak bisa dekat ataupun memiliki sahabat seperti yang lainnya. Mereka semua hanya sekadar orang yang ia kenal, tak lebih, tak kurang.

WintersweetWhere stories live. Discover now