#1: Dua Kutub yang Bertemu

2.9K 193 10
                                    

Divia membaca selebaran yang diberikan Pak Ali. Itu susunan panitia pensi SMA Budi Pekerti. Ada namanya di sana.

"Saya tidak bisa, Pak," kata Divia kemudian.

Pak Ali tersenyum tipis. Sejak awal saat memasukkan nama siswinya itu, beliau sudah tahu akan menerima penolakan seperti ini.

"Alasannya?" tanya Pak Ali.

Divia mengigiti bibir bawahnya. Otaknya berusaha untuk memikirkan alasan agar penolakan dirinya disetujui. Sebenarnya sudah ada satu alasan kenapa Divia ingin menolak menjadi panitia. Tapi, apa alasan itu cukup kuat untuk mengubah keputusan Pak Ali.

"Ini tahun terakhir kamu, Divia. Apa kamu tidak ingin mencoba sesuatu yang baru? Bapak rasa kamu pasti akan menyukainya."

Tidak. Divia tidak akan menyukai ini. Sudah pasti itu.

"Saya tetap tidak bisa, Pak," tolak Divia.

"Apa alasannya?"

"Saya tidak bisa. Hanya itu."

Pak Ali tersenyum tipis. Guru muda itu lalu memperbaiki posisi duduknya. Kemudian beliau berkata, "Tidak bisa dan tidak mau itu sangat jauh bedanya."

"Tapi, Pak, say—"

"Bapak akan menerima penolakan kamu asal ada alasan yang kuat. Kalau tidak, mau tidak mau kamu harus ikut dalam kepanitiaan ini. Sekarang kamu bisa kembali ke kelas," pungkas Pak Ali dengan senyum kemenangan.

Divia menghela napas panjang. Dirinya kalah. Karena bel masuk sudah berbunyi lagi, Divia segera kembali ke kelasnya.

Di koridor menuju kelasnya, langkah Divia terhenti. Di depannya, beberapa langkah, ada alasan kenapa Divia menolak jadi panitia.

Alasannya itu bernama Enrigo.

***

"Panitia pensi?"

Pak Ali mengangguk. "Kamu bersedia, kan?"

Cowok setinggi 180 sentimeter itu menatap Pak Ali dengan pandangan curiga. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan penunjukan dirinya menjadi panitia pensi.

"Apa ini hukuman?"

Pak Ali terkekeh pelan. "Tergantung kamu menilainya apa. Yang pasti kamu tidak bisa menolak ini. Jadi, demi nama baik sekolah kita, Bapak mohon kerjasamanya."

"Kalau saya tidak bisa menolak, kenapa masih ditanya? Bapak ini aneh," gerutu Enrigo.

Pak Ali tersenyum. Lalu meminta Enrigo kembali ke kelas karena pelajaran sudah dimulai.

"Langsung ke kelas. Jangan coba-coba untuk bolos lagi!" pesan Pak Ali.

Enrigo menoleh ke belakang dan berkata, "Bapak ini tahu aja kalau saya mau bolos."

***

Saat istirahat, Divia mengeluarkan novel dan bekal dari dalam tas. Lalu keluar kelas. Tujuannya hanya satu. Perpustakaan sekolah yang berada di lantai empat.

Divia sudah kelas XII. Tepatnya XII MIA 1. Di SMA Budi Pekerti, ruang kelas jurusan MIA berada di gedung sebelah kanan. Kelas dua belas menempati ruang di lantai tiga. Jadi untuk ke perpustakaan Divia tinggal menaiki tangga satu kali lagi.
Setiap istirahat Divia memang selalu ke perpustakaan. Seperti sekolah pada umumnya, perpustakaan adalah tempat yang jarang dikunjungi. Ruangan itu selalu sepi. Itulah alasan Divia menjadikan perpustakaan sebagai tujuannya setiap istirahat. Di sana dia bisa menyendiri tanpa harus tergangu oleh apapun.

Untuk urusan konsumsi, Divia tidak perlu ke kantin. Mama selalu menyediakan bekal untuknya. Lagipula Divia tidak terlalu suka jajan. Untuk urusan makanan Divia memang pemilih. Apalagi mengenai kebersihannya. Bukannya Divia men-judge makanan di kantin tidak sehat, hanya saja masakan Mama lebih terjamin kebersihannya dan juga tidak kalah enaknya.

Pegawai perpustakaan tersenyum ketika Divia masuk. Dia mengangguk pelan. Lalu segera menuju tempat favoritnya, kubikel paling ujung yang dekat dengan jendela.
Divia langsung membuka novel yang dibawanya. Kali ini dia membaca novel remaja terjemahan karya Kasie West berjudul The Fill-in Boyfriend. Ya, seperti novel remaja pada umumnya, novel ini bercerita tentang cinta.

Jadi ceritanya begini, ada Gia Montgomery, cewek populer yang ingin memamerkan cowoknya ke teman-teman satu genk-nya pada malam prom. Tapi sialnya, si cowok malah memutuskannya di parkiran sebelum mereka bertemu dengan teman-teman Gia. Tidak ingin dianggap membual, Gia lalu meminta tolong seorang cowok asing yang dia jumpai di parkiran itu untuk menjadi cowok palsunya. Tapi, rencana itu tidak berjalan mulus. Gia berpisah dengan cowok palsu itu tanpa sempat mengetahui namanya. Sejak malam prom Gia tidak bisa melupakan si cowok palsu tersebut.

Klise banget, kan? Tapi, Divia menyukainya. Kasie West mampu membuat Divia ikut penasaran dengan sosok si cowok palsu.

Omong-omong mengenai Divia, cewek itu sama sekali belum pernah berpacaran. Alasannya sih sederhana, Divia tidak percaya pada cinta ... atau mungkin Divia hanya belum bertemu dengan seseorang yang membuatnya percaya pada cinta.

Angin semilir dari luar membuat Divia memejamkan mata sejenak. Perasaannya menjadi tenang dan damai. Saat-saat seperti inilah yang membuatnya selalu menyukai kubikel di sudut perpustakaan SMA Budi Pekerti ini.

Divia menoleh ke luar jendela. Dari sini dia bisa melihat seluruh lapangan sekolah. Di bangku-bangku beton dekat taman, ramai siswi-siswi duduk berkelompok. Mungkin sedang menggosipin sesuatu. Di lapangan beberapa siswa bermain basket. Terlihat heboh. Semuanya terlihat begitu bahagia.

Lalu Divia melihat sekelilingnya. Dia sendirian. Tak ada teman. Lalu perasaan nyeri melanda hatinya.

Aku nggak butuh teman, bisik Divia berusaha mengusir rasa nyeri yang mengusiknya tadi.

***

Rapat panitia sepulang sekolah, begitu pesan Pak Ali pada Divia tadi sebelum menutup pelajaran. Makanya Divia tidak terlalu senang saat mendengar bel pulang berbunyi. Dengan malas, Divia memasukkan buku ke dalam tas. Bahkan dia sengaja berlama-lama. Divia baru keluar saat kelas benar-benar sudah sepi.

Dengan langkah diseret, Divia berjalan menuju aula yang berada di lantai bawah. Pak Ali bilang, rapat akan diadakan di aula. Untuk rapat pertama ini hanya akan diisi dengan pengenalan angota tiap-tiap divisi dan pembagian kerja. Divia sendiri berada di seksi publikasi.

Ketika Divia masuk ke aula, ternyata di dalam sudah ramai. Divia kenal beberapa orang, di antaranya adalah teman-teman sekelasnya yang dulu juga yang sekarang.

Divia tahu ada banyak mata yang melihatnya ketika berjalan memasuki aula. Mungkin mereka mempertanyakan keberadaan Divia di aula tersebut. Tapi seperti biasanya, Divia memilih tidak peduli. Dia menganggap puluhan mata yang mengekori setiap langkahnya itu tidak ada.
Divia memilih duduk di bangku paling belakang dan sudut. Jauh dari yang lainnya. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menghubungkannya dengan earphone, lalu memasangkannya ke telinga. Divia memutuskan untuk mendengarkan lagu selagi menunggu rapat di mulai.
Sesorang tiba-tiba menjatuhkan diri di sebelah Divia. Cewek itu tekesiap pelan lalu menoleh untuk melihat oknum yang telah membuatnya terkejut. Saat mengetahui siapa yang duduk di sebelahnya, Divia memejamkan mata. Kepalanya mendadak pening.

Dari sekian banyak bangku kosong di aula ini, kenapa cowok itu malah memilih duduk di sampingnya?

Divia membuka mata saat earphone sebelah kanannya terlepas. Ternyata earphone itu sudah berpindah ke telinga kiri cowok di sebelahnya itu. Cowok itu tersenyum lebar dan menyapa Divia.

"Hei," katanya riang. "Gue pinjem ini, ya," lanjutnya sambil menunjuk earphone di telinga kirinya.

Divia tidak menjawab. Memilih memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

Kepanitiaan ini belum dimulai. Tapi Divia sudah merasa lelah dan tidak sanggup.

Ini semua karena cowok di sebelahnya. Enrigo.

***

Halo semua. Aku memutuskan untuk re-publish kisah Divia dan Enrigo. Tapi, dengan beberapa perubahan. Termasuk judul. Oh iya, cerita ini tidak akan fast update, sebab aku mau fokus ke Shotgun Wedding.

Tapi buat yang mau baca tulisan remaja saya, semoga suka dengan ini.

K. Agusta

Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang