#5: Masa Lalu yang Tetinggal Jauh di Belakang

319 47 1
                                    

Divia tidak akan bisa lupa hari dimana ia bertemu dengan Nina untuk pertama kalinya.
Divia ingat hari itu Minggu sore, ia mengunjungi toko rental buku yang berada di ujung kompleks perumahannya. Tidak biasanya Divia ke sana Minggu sore. Selama ini ia lebih memilih ke sana pagi hari. Tapi, hari itu beda. Hujan yang turun sejak pagi membuat Divia  mengganti jadwal kunjungannya dari pagi ke sore hari.
Divia mengayuh sepedanya dengan kecepatan pelan mengingat jalanan saat itu licin. Belum lagi beberapa ruas jalan dipenuhi genangan air. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa ia nyemplung ke kubangan tersebut.
Sesampainya di toko rental tersebut, Divia langsung memarkirkan sepedanya di tempat yang sudah tersedia. Hari ini ia akan mengembalikan dua novel seri Lima Sekawan dan meminjam seri lanjutannya. Divia penasaran dengan kisah petualangan George Kirrin dan kawan-kawannya.
Selain buku-bukunya, yang Divia sukai dari toko rental ini adalah bunyi fuurin yang berdenting ketika pintu di buka. Ada kedamaian yang menelusup ke dalam jiwa Divia ketika mendengar lonceng angin tersebut berbunyi. Senyum akan merekah di bibir Divia ketika memasuki toko rental tersebut.
Tidak seperti biasa, toko rental itu sepi. Mungkin karena hujan dan cuaca dingin membuat beberapa anak yang biasa menghabiskan akhir pekan di tempat ini enggan meninggalkan selimut mereka. Divia melepaskan ransel yang ia sandang, membuka resletingnya, lalu mengeluarkan novel karangan Enid Blyton yang ingin ia kembalikan. Setelah dua novel itu di tangan, Divia segera menuju tempat peminjaman dan pengembalian.
Divia tersenyum dan melambaikan tangan pada Kak Widi, pemilik toko rental ini. Kak Widi menyadari kehadiran Divia lalu balas melambai sebelum kembali sibuk bekerja. Kak Widi tengah melayani seorang anak perempuan.
Divia memerhatikan anak perempuan itu. Dia mengenakan mantel berwarna merah dengan tudung menutupi kepala. Wajahnya bulat dengan pipi chubby dan hidung yang dipenuhi bintik-bintik hitam. Saat anak perempuan itu bicara, Divia bisa melihat kawat yang memagari gigi anak perempuan tersebut.
Merasa diperhatikan anak perempuan itu menoleh pada Divia. Alisnya tebalnya mengerut. Divia yang tahu ia sudah berlaku tidak sopan, mengangguk pelan, lalu tersenyum. Tapi anak perempuan itu hanya memiringkan kepala lalu mengendikan bahu sebelum kembali berbicara dengan Kak Widi.
Tak lama kemudian Kak Widi menyerahkan buku—yang mungkin dipinjam—pada anak perempuan tersebut. Divia sempat terperangah melihat betapa tebalnya buku yang kini berada di tangan anak perempuan itu. Saat anak perempuan itu berpapasan dengannya, Divia bisa melihat judul dari buku tersebut. The Davinci Code. Divia terus memerhatikan anak perempuan itu sampai menghilang di balik rak. Panggilan Kak Widi membuat Divia tersadar.
“Gimana ceritanya?” tanya Kak Widi ketika Divia sudah berada di hadapannya.
“Luar biasa!” seru Divia dengan mengancungkan dua jempolnya.
“Mau minjem kelanjutannya?”
Divia mengangguk dengan antusias, membuat Kak Widi tertawa.
“Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku sengaja simpan kelanjutannya buat kamu.”
Satu lagi alasan Divia menyukai tempat ini adalah Kak Widi. Perempuan berumur 20 tahun itu selalu bersikap ramah pada pengunjung. Bahkan Kak Widi bisa tahu apa yang diinginkan pengunjung sebelum mengatakannya. Seperti hal yang barusan terjadi. Divia senang luar biasa karena Kak Widi menyimpankan seri kelanjutan Lima Sekawan untuknya.
“Ini bukunya,” kata Kak Widi setelah kembali dari mengambil buku pinjaman Divia.
Divia mengambil buku itu lalu mendekapnya di dada. Tak lupa mengucapkan terima kasih. Kak Widi membalas dengan kalimat seperti biasanyanya, “Selamat tenggelam dalam dunia imajinasi!”
Rasa penasaran dan tidak sabar mengetahui kelanjutan kisah Lima Sekarwan membuat Divia memutuskan untuk tidak langsung pulang. Padahal Mama tadi sudah mengingatkan untuk segera pulang ketika urusan meminjam buku selesai. Langit masih gelap, nanti kamu sakit kalau kehujanan, begitu alasan Mama. Saat Divia melihat langit dari dinding kaca toko tersebut, Divia merasa tidak ada salahnya membaca di sini sejenak. Toh langit sudah tidak terlalu gelap, pertanda hujan tidak akan turun.
Divia melihat anak perempuan bermantel merah itu lagi. Duduk di meja paling sudut. Tudung kepalanya sudah dilepas dan memperlihatkan rambut ikal kusut dengan poni rata berwarna jerami.  Anak perempuan itu terlihat khusyuk menekuri buku tebal di hadapannya.
Divia duduk di hadapan anak perempuan itu—dan sempat menoleh saat menyadari keberadaan Divia. Saat melihat buku di tangan Divia, anak perempuan itu mendengus.
“Dasar bocah!” komentar anak perempuan itu—yang jelas-jelas ditujukan pada Divia.
Saat itu Divia baru berusia 11 tahun, kelas 5 Sekolah Dasar. Namun, dikatai sebagai bocah, tetap saja Divia tersinggung—meski dirinya memang masih bocah.
Tidak ingin membuat keributan, Divia memilih untuk tidak menanggapi anak perempuan tersebut. Divia memilih membuka bukunya dan membaca. Namun lima menit kemudian Divia kembali terusik saat anak perempuan di depannya itu berceletuk.
“Apa bagusnya sih baca cerita detektif anak-anak tolol begitu? Nggak ada seru-serunya.”
Divia memicingkan mata. Menatap anak perempuan itu tajam. Tapi, anak perempuan itu sama sekali tidak gentar. Ia malah membalas Divia dengan pandangan merendahkan dan senyum sinis.
“Emangnya bantal yang kamu baca itu bagus apa?” balas Divia tak mau kalah. Ia sengaja menyebut buku itu dengan bantal mengingat tebalnya yang sudah seperti bantal.
“Tentu aja,” jawab anak perempuan itu dengan yakin dan angkuh. “Sejuta kali lebih seru dibandingkan novel detektif amatiran seperti itu.”
Divia mengembuskan napas sebal membuat poninya ketiup. Hatinya benar-benar panas dihina seperti itu. Ingin rasanya Divia menimpuk anak perempuan itu dengan buku bantal yang ada di hadapannya sekarang. Divia mengepalkan tangannya kuat-kuat agar ia tidak melakukan apa yang sedang ia pikirkan.
Divia menutup buku bacaannya lalu mendorong kursi ke belakang dengan sentakan keras. Divia berdiri lalu melangkah pergi. Lebih baik ia membaca di rumah saja.
Tapi baru beberapa langkah, Divia berhenti ketika anak perempuan itu bersuara lagi.
“Namaku Karenina. Baru pindah ke kota ini. Kalo kamu butuh saran untuk buku bagus, jangan sungkan-sungkan menemuiku.”
Divia berbalik dan menatap  tajam anak perempuan yang tersenyum lebar padanya itu. “Nggak akan!” tukas Divia sebelum berbalik dan meninggalkan anak perempuan itu.
***
Lalu bagaimana kisahnya sampai mereka berteman dan bersahabat?
Sejak Minggu sore—yang menyebalkan bagi Divia—itu, ia sering melihat Karenina di toko rental Kak Widi. Sepertinya Karenina sudah jadi pelanggan tetap, sama seperti dirinya. Setiap kali bertemu, Karenina masih sama menyebalkannya. Tapi, perdebatan-perdebatan kecil itu mulai menjalin mereka dalam ikatan, tanpa Divia sadari. Saat Divia tidak menemukan Karenina, Divia pasti akan mencari-cari. Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran Karenina.
Selain di toko rental, Divia juga sering bertemu Karenina di kedai es krim favoritnya yang berada beberapa blok dari toko rental. Meski selera bacaan mereka berbeda, ternyata Divia dan Karenina menyukai rasa es krim yang sama. Vanila dengan siraman sirup stroberi.
Apakah persamaan rasa es krim kesukaan itu membuat mereka berteman? Tentu saja tidak.
Ada peristiwa lain yang membuat mereka menjadi dekat. Dan sampai mati pun Divia tidak akan pernah bisa melupakannya.
Waktu itu Divia baru pulang dari kedai es krim. Tiba-tiba di tengah jalan Divia dicegat oleh tiga orang anak laki-laki yang terkenal nakal di kompleksnya. Ketiga anak laki-laki itu meminta Divia menyerahkan es krim yang Divia bawa. Tentu saja Divia tidak mau. Es krim itu sengaja ia belikan untuk Mama yang sedang berulang tahun.
Tidak terima dengan penolakan, salah satu dari tiga anak laki-laki itu maju dan merebut kantong es krim yang berada di setang sepeda. Divia berusaha mempertahankannya. Tapi, anak laki-laki bertubuh tambun itu lebih kuat tenaganya. Akibatnya sepeda Divia oleng dan terjatuh.
Divia meringis saat siku dan lututnya terasa perih. Ternyata siku dan lututnya lecet dan memar karena terbentur aspal. Mata Divia terasa panas.
Saat itulah sosok bermantel merah muncul. Rambut ikal kusut berwarna jerami berkibar ketika berlari menuju Divia. Karenina segera memukul punggung anak laki-laki yang merebut es krim Divia tadi dengan kayu. Anak laki-laki itu langsung tersungkur.
“Beraninya sama anak perempuan!” teriak Karenina sambil mengancungkan kayu pada dua anak laki-laki lainnya dengan sikap siaga. Divia yang berada di belakang Karenina menatap takjub sosok bermantel merah di hadapannya itu.
“Jangan ikut campur!” sentak anak laki-laki paling tinggi dengan wajah merah menahan marah.
Karenina tertawa meremehkan. Membuat wajah ketiga anak laki-laki itu kerus dan telinga mereka memerah. “Dia ini temanku,” kata Karenina sambil menoleh pada Divia. “Kalo kalian mengganggunya, itu jadi urusanku.”
Tanpa aba-aba Karenina langsung melancarkan serangan. Ia memukulkan kayunya ke segala arah. Beberapa mengenai lawannya dengan telak—tapi juga banyak yang meleset. Tidak ingin hanya jadi penonton, Divia ikut membantu. Ia mengenggam pasir lalu melempari ketiga anak laki-laki itu. Mereka berteriak histeris saat pasir mengenai mata mereka.
“Ayo kabur!” ajak Karenina sambil membantu Divia mendirikan sepeda.
Tanpa diperintah lagi, Divia mengangguk dan berlari bersama Karenina. Setelah berlari selama sepuluh menit dan merasa sudah aman, keduanya berhenti. Mereka terengah-engah, kemudian saling menata. Tawa mereka pecah saat melihat penampilan mereka yang berantakan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Divia saat menyadari lebab di pipi kiri Karenina. Ternyata tadi anak perempuan itu sempat kena tinju.
Karenina menyentuh pipinya, meringis sebentar, lalu tersenyum lebar. “Ini sepadan dengan apa yang telah mereka terima,” kata Karenina enteng.
“Makasih, ya, udah nolongin aku.”
Karenina mengangkat bahunya. “Aku hanya nggak bisa membiarkan orang yang aku kenal diganggu. Lagipula kalo kamu kenapa-napa, aku akan kehilangan lawan berdebat. Itu sungguh nggak asyik!"
Setelah mengatakan itu Karenina melanjutkan langkahnya. Sementara Divia masih terpaku di tempatnya, menatap punggung dan rambut jerami sosok bermantel merah tesebut. Ada rasa hangat yang menyelubungi dada Divia.
“Ayo pergi!” teriak Karenina saat menoleh ke belakang. Divia mengangguk dan menyusul Karenina.
Karenina memang bermulut tajam. Juga bersikap menyebalkan. Tapi, kejadian yang baru saja mereka alami membuat Divia sadar kalau Karenina anak yang baik.
Dan itulah awal mula pertemanan mereka. Hingga akhirnya berkembang jadi persahabatan, meski mereka masih sering berdebat mengenai buku yang mereka baca.
***
“Aku nggak nyangka kamu punya keberanian melangkahkan kaki ke kantin,” kata Nina sambil bersandar di dinding toilet. Di hadapannya, Divia berdiri di depan westafel, membasuh muka.
Setelah menemani Enrigo sarapan di kantin, Divia langsung menuju toilet. Namun ia tidak menyangka ada yang mengikutinya.
Divia memutar keran hingga airnya berhenti. Lalu mengambil tisu dan mengelap wajahnya yang basah.
“Kenapa kamu bisa sama dia?” Nina sengaja menekankan nadanya pada kata dia, yang merujuk pada Enrigo.
Divia berbalik lalu menatap Nina. Ada kerinduan yang meletup di dadanya. Tapi, Divia berusaha membendungnya.
Bukannya menjawab pertanyaan Nina, Divia malah balik bertanya. “Kenapa?”
Hanya satu kata itu. Tapi, cukup untuk mewakili segala pertanyaan yang selama ini memenuhi benak Divia sejak Nina mencampakkannya.
Saat tatapan mereka bertemu, Nina mengerti pertanyaan itu. Nina mendengus dan tersenyum sinis.
“Satu-satunya yang nggak bisa kembali saat ini adalah masa lalu. Kamu tahu kenapa? Karena masa lalu tertinggal jauh di belakang. Bagiku, kita adalah masa lalu.”
Divia mengerjap saat matanya tersengat perih dan terasa panas. Pandangannya sudah mengabur, tapi ia menahan air matanya. Jangan menangis. Jangan menangis. Jangan menangis, ucapnya dalam hati.
Apa yang dikatakan Nina benar. Persahabatan mereka sudah menjadi masa lalu. Tidak akan bisa dikembalikan lagi saat ini. Sudah banyak yang berubah. Termasuk Nina. Rambutnya yang asli berwarna jerami dan selalu kusut kini sudah menjadi hitam dan berkilau indah. Tidak ada lagi gigi berkawat. Tidak ada lagi bintik hitam di hidung. Nina benar-benar sudah berubah dan meninggalkan masa lalunya. Dan itu termasuk Divia dan persahabatan mereka.
Tenggorokan Divia terasa pedih. Tapi, ada satu pertanyaan lagi yang ingin ia tanyakan pada Nina.
“Apa kesalahanku?”
Nina berdiri tegak. Melipat tangan di dada, lalu tertawa sinis. Beberapa detik kemudian, Nina sudah berbalik dan membuka pintu toilet. Sebelum pergi, Nina sempat menoleh ke belakang, dan menatap Divia tajam seraya berkata, “Kamu nggak pernah berubah. Selalu merasa jadi korban yang tersakiti. Dan itu sungguh menyebalkan.”
Pintu toilet tertutup dengan bantingan keras. Divia masih membeku di tempatnya. Air mata mulai berguguran dan terasa panas di pipi. Sementara kata-kata Nina masih bergema di setiap sudut pikirannya.

Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang