#2: Seseorang yang Dulu Pernah Berbagi Kisah Bersama

1.1K 102 3
                                    

Sepulang sekolah, Divia tidak langsung pulang ke rumah. Divia mampir dulu ke toko buku,  membeli beberapa novel baru karena stok bacaannya sudah habis.

Toko buku itu terletak di tengah kota,  di jalan Sudirman. Divia akan menaiki bus untuk menuju ke sana. Makanya saat ini dia duduk di halte, menunggu bus jurusan yang melewati toko buku tersebut.

Divia mengeluarkan karet gelang dari ransel. Ia meraup rambut ikal sepunggungnya, lalu mengucirnya. Hari ini Pekanbaru panas. Juga sedikit berasap.

Asap di Pekanbaru bukanlah hal yang aneh. Bisa dibilang setiap tahun kota ini mengalami bencana asap. Pembukaan lahan dengan pembakaran menjadi penyebabnya. Tapi, tahun ini tidak separah dua tahun lalu. Divia ingat, dua tahun lalu di bulan seperti ini, sekolahnya sering diliburkan karena bencana asap tersebut.

Omong-omong mengenai asap, Divia dari tadi memperhatikan motor yang berhenti di depan halte. Motor itu mengeluarkan banyak asap dari knalpotnya. Mata Divia perih dan ia pun terbatuk-batuk. Selain asapnya yang mengganggu, suaranya juga membuat telinga pengang.

Mesin motor dimatikan. Pemilik motor melepaskan helm.

"Hei," sapanya.

Divia menatap pemilik motor itu sesaat, lalu membuang muka. Ia tidak perlu menanggapi sapaan itu.

"Mau pulang? Aku anterin, yuk!"

Divia tetap diam. Bersikap seolah-olah tidak ada yang mengajaknya berbicara.

Pemilik motor, yang tak lain adalah Enrigo, mendengus. Baru kali ini ia dicuekin oleh cewek. Biasanya, tanpa menawarkan pun cewek-cewek banyak yang ingin naik motor barengnya.

"Baru kali ini, lho, aku nawarin diri nganterin cewek pulang," kata Enrigo lagi. "Kamu pasti suka kan dianteri cowok ganteng? Banyak lho cewek-cewek yang berebut minta dianterin pulang sama aku."

Divia memejamkan mata. Lalu menatap Enrigo tajam. "Hanya karena kamu merasa ganteng, lalu kamu pikir semua cewek akan suka kamu anterin pulang?" Divia mendengus kesal.

Enrigo sudah mau membalas ketika terdengar klakson keras. Cowok itu terlonjak kaget. Begitupun dengan Divia. Ternyata bus yang Divia tunggu sudah datang. Pengemudi bus membunyikan klakson karena motor Enrigo menghalangi bus menepi ke halte.

Tiiiin ... Tiiiiin ....!

Pengemudi terus menekan klakson. Terlihat tidak sabaran.

"Sabar dong, Pak!" Gerutu Enrigo kesal seraya menyalakan mesin motornya.

Ketika bus menepi ke halte, Divia segera meloncat ke dalam bus. Ia bersyukur  bus datang di saat yang tepat.

***

Divia turun di halte Simpang Raya. Ia perlu menyeberang jalan raya sebelum sampai di toko buku terbesar di kota Pekanbaru.

Sesampainya di toko buku, Divia menitipkan tas bawaannya. Setelah mendapatkan kartu bertuliskan nomor laci tasnya disimpan, Divia langsung menuju lantai dua. Tempat buku-buku fiksi dijual.

Akhir-akhir ini Divia sedang suka dengan novel remaja bertema berat. Seperti masalah mendapatkan pengakuan diri orang-orang di sekitar, kasus bullying, memperjuangkan hidup setelah mengalami kenyataan pahit, dan berbagai konflik yang berat dihadapi para remaja, tapi benar-benar terjadi. Divia sendiri sudah ada list novel yang akan ia beli. Tapi, tetap saja ketika menemukan novel dengan cover yang menarik, Divia akan mengambilnya dari rak dan membaca blurb di sampul belakang. Kalau buku itu menarik, akan masuk ke daftar tunggu novel yang akan ia beli. Kalau tidak, ya akan kembali ke rak semula.

Divia sangat suka membaca novel. Itu sesuai dengan cita-citanya. Divia ingin menjadi novelis. Tulisan bisa menjadi suaranya, begitu pikir Divia. Divia lebih suka menyuarakan perasaannya lewat tulisan.

Selama ini Divia sudah mulai melangkah menggapai impiannya. Lewat mengelolah sebuah blog bernama Pengembara Imajinasi. Pengikutnya lumayan banyak. Bahkan Divia tahu dibeberapanya adalah murid-murid sekolahnya. Tapi, tidak ada satu orang pun yang tahu kalau pengelolah blog Pengembara Imajinasi itu Divia. Divia cukup menikmati hal tersebut. Ia hanya ingin orang-orang membaca apa yang ingin ia suarakan, tanpa harus tahu identitas dirinya.

Divia menemukan novel yang covernya menarik. Ia ingin meraih novel tersebut. Tetapi, ada satu tangan juga yang terjulur ingin mengambil novel tersebut.

Mereka sudah sama-sama memegang novel tersebut. Lalu, keduanya berpandangan. Rahang Divia seketika mengetat saat mengenal sosok yang berdiri di hadapannya itu.

***

Dulu Divia tidak pernah sendirian. Ada seseorang yang selalu berada di dekatnya. Seseorang yang mengerti apa yang ia pikirkan dan rasakan. Seseorang yang dengannya Divia dapat berbagi banyak hal. Mereka mempunyai banyak kesamaan. Sama-sama suka buku cerita fiksi. Sama-sama penggemar makanan manis, terutama es krim vanila. Sama-sama sulit mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Sama-sam dicap aneh. Sama-sama terlahir sebagai anak tunggal. Banyaknya kesamaan itu membuat mereka merasa saling memiliki.

Setiap hari, sepulang sekolah, mereka akan bersepeda bersama-sama, menuju tempat penyewaan buku. Mereka akan menyewa masing-masing satu buku, lalu menuju toko es krim terdekat. Sambil menikmati es krim, mereka akan larut dalam bacaan mereka. Sepulangnya, mereka akan mendiskusikan apa yang baru saja mereka baca. Berdebat cerita mana yang lebih menarik.

Saat-saat itu adalah hal yang menyenangkan bagi Divia. Divia tidak membutuhkan siapun lagi. Cukup dia, seseorang yang Divia sebut sahabat.

Namun dalam hidup semuanya bergerak dan mengalami perubahan. Termasuk dia.

Divia merasa, kehidupan mereka sudah sempurna karena saling memiliki. Tapi, nyatanya tidak. Dia tidak merasakan seperti yang Divia rasakan. Dia menginginkan kehidupan yang lebih. Dia merasa tidak cukup hanya dengan Divia seorang.

Ketika duduk di SMA, dia pun berubah. Dia tidak pernah lagi datang mencari Divia. Dia tidak pernah lagi mengunjungi tempat penyewaan buku yang sering mereka datangi sepulang sekolah. Dia tidak pernah lagi muncul di kedai es krim favorit mereka. Sering kali Divia menunggu, tapi dia tidak pernah kembali.

Sampai akhirnya Divia sadar bahwa persahabatan mereka telah berakhir. Saat itu di jam istirahat. Divia sedang berjalan di koridor menuju perpustakaan. Tiba-tiba kakinya dijegal oleh seseorang. Divia terjatuh. Novel dan bekalnya berserakan di lantai koridor. Telapat tangan dan lutut Divia lecet. Ada luka baret dan sedikit berdarah.

Lalu Divia mendengar suara tawa itu. Suara tawa yang sangat ia kenal. Disusul oleh suara tawa yang lain.

Saat Divia menoleh, Divia menemukan dia, sedang tertawa bersama teman-teman barunya, sekumpulan cewek dengan pakaian di atas standar anak sekolahan pada umumnya. Mereka menunjuk-nunjuk Divia. Menertawakan Divia.

Divia terus menatap, menunggu dia menghampiri dan meminta maaf. Tapi dia tidak pernah melakukan itu. Dia malah melangkah pergi bersama teman-temannya.

Tangan dan lutut Divia sakit saat itu. Tapi hatinya lebih sakit. Divia sadar bahwa dirinya baru saja didepak dari kehidupan dia.

Sejak saat itulah Divia lebih memilih sendirian. Divia tidak ingin berteman. Divia tidak percaya dengan siapapun.

Itu hanya satu alasan yang membuat Divia tidak mempercayai sebuah kesetiaan. Baginya, lebih baik sendiri, dengan begitu hatinya tidak perlu terluka dan merasakan sakit lagi.

***

Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang