Prajurit dalam Paspor

735 39 17
                                    

"Persyaratan IPK > 3.00, berpenampilan menarik, berbakat, aktif organisasi, memiliki paspor"
Secarik kertas yang mengalihkan fokusku, dia, dan mereka. Iya, mading yang biasanya terabaikan siang itu ramai dibicarakan, bukan karena informasi nilai yang keluar namun pembukaan seleksi mahasiswa pertukaran pelajar. Kampusku memang memiliki program unggulan, setiap tahunnya menerbangkan mahasiswa ke negeri Thailand, hebat bukan?
****
Perkenalkan, namaku Naya Iriani Yanto, biasa dipanggil Nay. Yanto adalah nama bapakku, seorang prajurit angkatan udara yang sekarang berdinas di kota Yogyakarta. Dan Iriani diambil dari nama keluarga besar mamahku, mojang Bandung yang sempat hits pada masanya sebelum ia pindah ke Papua bersama kakekku untuk memenuhi tugas negara. Aku si sulung dari dua bersaudara, adikku masih duduk dibangku kelas 4 salah satu Sekolah Dasar Negeri di kota Yogyakarta. Dia ikut menetap dirumah dinas bapak, sedangkan aku tinggal dikota bandung bersama nenek yang tak lain ibu dari mamah.
****
"Nay, kamu harus ikut seleksi ya. Aku yakin kamu pasti bisa" katanya lewat DM, setelah aku membuat story di akun Instagram.
Dia adalah Yudho, teman dekatku sejak duduk dibangku SMP, anak komandan bapak ketika masih berdinas di Bandung. Orangtuaku dan orangtuanya sudah saling kenal, mungkin akrab, aku tidak tahu.
"Iya, tapi aku bingung. Bagaimana dengan paspor?" keluhku.
"Kabari, nanti saya antar kamu yo" tegasnya.
Logatnya sedikit Jawa, dia memang keturunan asli Jawa, Jawa Barat maksudnya hehehe. Dia cuek, baku, kadang bertingkah konyol. Tapi tidak kepadaku, mungkin ke yang lain. Nyatanya dia baik, suka berdiskusi dan yang ini aku ngga bisa prediksi. Ini masalah hati. Ah sudahlah tidak penting.
"Teh, sehat? katanya udah dibuka pendaftaran Student Exchange ke Thailand tahun ini ya? teteh gimana udah siap? untuk paspor bikin aja dulu, nanti mamah minta tolong Yudho untuk antar teteh ke kantor imigrasi" pesan whatsapp dari nomor atas nama 'mamah tersayang'
Setiap hal selalu aku ceritakan ke mamah walau kita tinggal dikota berbeda, bagiku mamah adalah diary terbaik, aku suka cara mamah memotivasi. Aku tahu mamah sangat mempercayai Yudho, anak komandannya dulu. Yudho adalah anak seorang pimpinan angkatan udara, yang sama sepertiku, merantau demi meraih cita dan mungkin juga cinta. Sejak dua minggu yang lalu dia ada di Bandung untuk mengikuti pelatihan terjun payung, karena dia seorang calon perwira angkatan darat yang pendidikannya hampir rampung. Sedikit yang aku tahu. Lebihnya belum. Mungkin hari minggu, ketika dia berkunjung kerumahku.
****
"Berkas terakhir senin ya" tegas Kepala Biro Administasi Kemahasiswaan dan Alumni.
Baiklah sepertinya aku butuh dia hari ini, bukan hari minggu atau bahkan hari ulangtahunku. Langsung Aku ambil ponsel dari saku, mencari nomornya yang banyak karena sering mengganti kartu. "Ini dia!" aku teriak. mereka terkejut "Hehe, maaf ya teman" aku malu.
"Yudho, kayaknya jangan kamis. Besok aja. Pagi ya " ku kirim pesan teks karena kuota dan wifi kampus sedang tak bersahabat. Aneh, lama sekali dia membalas. Biasanya kilat. Aku mulai ragu, apakah dia bersedia membantu.
"Nay, maaf baru balas. Latihan baru selesai, besok saya jemput jam 6 ya" dia membalas ketika jarum menunjukkan pukul 23.00 WIB, aku bermimpi dan terbangun bukan karena pesannya, tapi aku merasa lapar ingin makan tapi tak ada persediaan. Besoknya dia datang tepat waktu, sayang tidak denganku, aku terlambat bangun. "Nay dimana?" pesan ke-11 dari dia yang masuk lewat whatsapp. Akhirnya aku lari, terburu buru dan terjatuh. Dia sigap membantu. Aku diam. Dia tersenyum. "Kamu kok ya lari-lari, ati ati toh" dengan logatnya yang khas. Aku malu, dia menuntunku dan kita berangkat ke kantor Imigrasi setelah tragedi memalukan itu.
***
"Nomor antrian 8" suara khas petugas kantor imigrasi. "221 ya" itu nomor antrianku. Aku merasa tak kuasa hati, padahal sudah datang sangat pagi. "Jangan kesal gitu toh, ndak papa, yuk ikut saya" dia mencoba menghiburku. "Kemana" jawabku singkat. "Ayo" ajaknya. Dia kearah parkiran. Aku ikut dibelakang. Kita naik motor kearah Jl. Pramuka, tepatnya menuju asrama perwira. "Kita kemana?" tanyaku. "Udah, nanti tahu" katanya. Ah, aku kesal. Seakan perjuangan untuk mendapat ticket pertukaran pelajar itu amat susah, paspor lama antriannya, belum lagi untuk berkas lainnya. Sepanjang jalan wajahku tak berniat senyum, "Jangan gitu toh. Senyum, manis, kalau masih cemberut kita ke warung dulu" katanya. "Untuk?" timpalku. "Beli gula, manisnya berkurang soalnya" rayunya. "Ihhhhhhh apaan sih" hatiku tertawa, tapi tidak untuk muka. "Assalamu'alaikum" langsung dia mengetuk salah satu rumah dinas seorang perwira angkatan darat. "Waalaikumussalam, eh Yudho masuk lek, sama siapa itu bojomu yo?" seorang ibu paruh baya berlogat jawa keluar dari pintu rumah. "Eh ndak bude, hehe.. bude kenalkan ini Nay, anak teman Ayah dulu waktu dinas. Nay kenalkan ini Bude, adik ayahku" Yudho mengenalkanku pada ibu itu. Kita berkenalan. Aku tersenyum. Bude juga. Kita dipersilahkan masuk dan aku terkesima ternyata berbagai hidangan telah disiapkan dimeja, sepertinya Yudho memang sudah merencanakan kunjungannya. Yasudahlah. Banyak hal yang bude ceritakan,mulai dari keluarga, pekerjaan bahkan fakta tentang Yudho yang kata Bude dia sedang mengincar satu perempuan istimewa. Em, iya iya aku memang cemburu. Biarlah. Ini menjadi urusanku. Tak terasa berjam-jam kita habiskan waktu bersama, canda dan tawa mengubah hatiku yang sempat geram karena nomor antrian "Yudho, ayo ini sudah sore. Nomorku mungkin sebentar lagi dipanggil" ajakku padanya. "Iya. Bude Yudho izin dulu ya, calonku udah gasabar hehe" bisik Yudho kepada Bude yang aku tak dengar isi percakapannya. Bude tertawa. Aku ikut aja.
Sesampainya disana, "No 224" kulihat di LCD nomor antrian. Aku tegang, dia tenang, memang selalu begitu. "Yaa Allah, nomorku sudah terlewat!" jeritku setengah rasa ingin menangis. "Sabar, saya masuk dulu" dia mencoba menengkan. Tapi gagal, tangisku pecah. Usaha yang ku lakukan dari pagi buta seakan sia sia, lelah!. Dia keluar dari ruangan dan tak lama "No 221" suara petugas imigrasi. "sana masuk" Yudho menyuruhku. "Tapi........" jawabku "Udah sana..." potongnya. Baiklah, singkat cerita pasporku sudah selesai diproses dan tiga hari kemudian aku mengambilnya sendiri tanpa Yudho, karena dia sudah harus pulang ke magelang untuk pendidikan. Jujur Aku sedih. Tapi itu sudah resiko. Akhirnya aku lewati semua tahap seleksi, tibalah saatnya menunggu satu hari untuk pengumuman peserta terpilih. Dan keesokan hari tiba-tiba handphone ku berdering menandakan sebuah pesan masuk "Selamat Naya Iriani Yanto anda lolos sebagai peserta Student Exchange Thailand 2017, segera konfirmasi ke kantor kemahasiswaan". Ah, rasanya campur aduk. Sedih. Haru. Menjadi satu.
"Yudho, nay lolos!!!" tanpa pikir panjang aku menghubunginya lewat whatsapp, walau aku tahu pesan itu tak akan dia balas. Tapi nyatanya salah, seketika panggilan masuk dengan nomor yang tak tersimpan dikontakku "Assalamualaikum, hallo Nay congratulation ya, alhamdulillah doamu Allah kabulkan. Hati-hati, udah dulu ya ada komandan wassalamualaikum" terputuslah panggilan dari kota magelang itu. Ya! dia adalah Yudhoku, yang membuatku selalu percaya bahwa doa akan Allah ijabah jika kita yakin padanya. "Makasih Yudho" dari hatiku terdalam. Akhirnya pada tanggal 5 Februari 2017 aku terbang ke negeri Thailand dengan kenangan bersama orang-orang tersayang. Terimakasih telah menemaniku dalam setiap perjuangan. Aku bahagia, kamu dan juga mereka. Kini perjuanganku berakhir indah. Alhamdulillah.
***

THAILANDKU TAHUN 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang