Kabut. Gelap.
Mereka menyambut pagiku yang suci ini. Setelah seragamku lengkap, tak lupa aku menambahkan jaket coklatku. Juga sarung tangan garis-garis coklat sambungan manset tanganku.Aku berpamitan pada mama. Aku cium punggung tangannya sembari mengucap salam. Ia tersenyum dan menjawab salamku. Dari pintu depan rumah, kami berpisah.
Ayah telah menunggu diluar bersama motornya. Tak lupa ia menyiapkan mantel plastik biru untukku berlindung. Hujan lumayan deras. Namun waktu sudah memaksa untukku sampai di sekolah. Mau tak mau kami berhujan-hujanan.
Perjalananku ke sekolah dimulai. Satu menit pertama hanya satu-satu air yang turun menggangguku. Hingga menit-menit berikutnya; hingga bisa kurasakan tas dan bagian bawah rokku, juga sepatuku mulai basah. Hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan pamit. Alhasil aku dan ayah tentunya bermain air selama perjalanan ke sekolah kali ini.
Dari bangku motor ini aku melihat duniaku. Dunia orang-orang pagi ini. Mereka sama-sama rela berhujan-hujanan; seperti kami. Pagi memang kadang memaksa. Yang jelas dibawah rinai bergerombol ini, bukan hanya ada aku saja.
10 menit kira-kira sudah lewat. Gerbang sekolahku kini di depan mata. Aku menyingkap plastik biru pelindungku selama perjalanan tadi. Aku lipat dan ayah menyimpannya di jok motor. Hujan makin menjadi. Dengan cepat aku berpamitan pada ayah dan langsung berlari ke pos satpam.
Sejenak ada rasa enggan, melihat disana ada seorang lelaki. Wajahnya familiar. Kurasa ia sebaya denganku. Ia menggenggam payung. Jekat hijaunya terpasang rapi meski terkena air sedikit-sedikit. Dibalik jaket itu pasti terpasang seragam pramuka yang rapih pula. Ia berdiri sendiri di depan pos satpam kecil itu. Bila harus aku menunggu hujan reda disana, kami akan berduaan. Aku enggan.
Belum sampai kakiku menginjak ke pos satpam, tak kusangka lelaki tadi memanggilku. Aku terkejut. Apa yang akan dia katakan? Aku menoleh. Ternyata ia mengulurkan payung. Saat itulah aku sadar ia menggenggam dua payung. Kini yang satunya; yang berwarna merah polos, tersodor didepanku. "Ambil saja, kamu tinggal mengembalikannya nanti di kelas xxx," Aku terperangah. Cepat-cepat aku sadar dan merespon tawaran itu "Serius? Hngg, Terimakasih," Hanya itu yang bisa terfikir oleh otakku. Aku mengambil payung merah kecil itu dari tangannya. Mulai kutapakkan kakiku meninggalkan pos satpam. Sebelum jauh, aku menoleh kembali kebelakang, "Terima kasih," aku mengatakannya lagi sebelum aku benar-benar fokus berjalan menuju kelas. Ia tersenyum.
Alih-alih menunggu hujan reda di pos satpam, aku dipinjami payung oleh seseorang yang tak ku kenal. Selama perjalanan ke kelas, aku masih memikirkan apa yang barusan terjadi. Ajaib bukan? Aku tertawa kecil. Namun sebelum ada yang melihatku tertawa sendiri seperti orang sinting, aku mengatur ekspresi wajahku kembali normal.
Dia siapa? Bukannya terlalu niat ia melakukan itu semua? Menolong orang. Menolong yang kehujanan agar sampai ke kelas. Memberi naungan tanpa meminta jaminan. Sudah berapa payung yang ia pinjamkan? Sudah berapa orang yang tertolong? Kukira aku yang terakhir, karena aku melihat payungnya tinggal dua.
Diam-diam aku berterimakasih sekali lagi dari hati kecilku, semoga kebaikannya dibalas oleh Sang Pencipta Hujan.
Kelasku hampir dekat.
Payung merah ini, akan kuantarkan nanti ke kelas xxx, seperti yang dipesankan pemberinya.Aku basah namun tak kuyup. Berkat payung ini jua.
Sebelum masuk ke kelas, aku mengambil nafas panjang. Aku akan menceritakan kisah payung ini pada teman-temanku.
-------------------------------------
Berdasar kisah nyata 😂
Saturday Morning March 10'18Dengan perubahan seperlunya 😅
With Love,
Lolyadinda
![](https://img.wattpad.com/cover/94561536-288-k942443.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Life Laugh it is Lolly
Документальная прозаHidup ini.. Apa yang membuatmu bahagia, lakukan. Apa yan membuatmu gak bahagia, tinggalkan. "Jangan lupa bahagia!"