🍁4. Arkaan dan Bian.

99 15 0
                                    

Namanya Aldino Kafabian, cowok tiang listrik yang selalu menebarkan senyum hangat setiap kali berjalan di koridor sekolah. Dia merupakan Kapten Basket untuk SMA Nusantara dan selalu menyabet piala-piala setiap kali mengikuti perlombaan. Karena Bian SMA Nusantara terkenal sebagai SMA dalam basket maupun olimpiadenya.

Dulunya Bian adalah Ketua Osis di SMP Garuda Indonesia, namun sekarang dia tidak ingin menggeluti dunia itu lagi dan beralih untuk mengikuti ekskul basket yang merupakan salah satu hobinya juga.

Semua orang di sekolah baik itu saat SMP maupun SMA mengenalnya sebagai sosok cowok yang baik dan juga ramah, mereka terkadang sering melihat Bian membantu teman-temannya, maupun orang lain.

Bagi mereka bahkan mungkin untuk kebanyakan siswi di SMA Nusantara Bian mungkin merupakan cowok idaman mereka. Bian adalah sosok sempurna seperti tokoh fiksi yang selalu mereka khayalkan. Dia tentu saja jago bermain basket, ganteng, tinggi, pintar, ramah, baik, suka menolong apalagi yang kurang dari sosok Bian. Aldino Kafabian itu sempurna bagi mereka semua.

Kecuali menurut Arkaan Nuriel Ravindra. Bagi Arkaan Bian tak sesempurna itu. Bian tak sebaik itu. Setiap manusia pasti mempunyai dua sisi, entah itu sisi baik maupun sisi jahat dan Bian tentu saja memiliki kedua sisi itu hanya saja yang terlihat di mata semua orang Bian adalah orang yang baik, bukan jahat.

Tetapi Arkaan sudah mengenal Bian sejak SMP mereka selalu berada di kelas yang sama selama tiga tahun, dan bisa dikatakan Bian adalah rival bahkan musuhnya.

Entah hal apa yang membuat mereka bermusuhan, namun sejak pertama kali mereka bertemu dan berada dalam satu kelompok saat MOS mereka berdebat kecil hingga berakhir mereka mendapatkan hukuman jalan katak mengelilingi lapangan selama lima kali.

Dan apa yang mereka perdebatkan sebenarnya hanya sebuah hal sepele, tentang siapa yang akan menjadi ketua kelompok dalam kelompok mereka. Saat itu Arkaan dan Bian mengajukan diri mereka untuk menjadi ketua kelompok.

Mereka berdebat bahwa mereka merasa jauh lebih baik. Arkaan menganggap bahwa dia jauh lebih bisa menjadi ketua kelompok karena dirinya bisa mengerti apa yang mereka inginkan termasuk tentang pendapat-pendapat mereka nanti, sementara Bian mengganggap bahwa dia jauh lebih berpengalaman dalam dunia pimpin-memimpin karena selalu menjadi ketua kelas sejak SD dan dia sangat yakin bahwa dia bisa memimpin mereka.

Mereka terus berdebat, mengganggap diri mereka jauh lebih baik dan perdebatan mereka nyatanya menimbulkan keributan.

Dan pada akhirnya mereka berdua dihukum sementara bagian ketua kelompok dipilih langsung oleh anggota OSIS.

"Semua ini gara-gara lo, coba aja lo ngalah dan biarin gue jadi ketua kelompok. Kita nggak akan dihukum seperti ini."

Bian tersenyum meremehkan, "Gue bahkan nggak yakin lo bisa jadi ketua kelompok," Arkaan melotot tak percaya. Kedua tangannya mengepal siap melayangkan tinju, namun sebelum tinjunya melayang sempurna mengenai wajah Bian, Bian dengan sigap menahan kepalan tangannya.

"Apa ini yang lo maksud dengan lo yang lebih pantas menjadi ketua kelompok?" Bian menghempaskan kepalan tangan Arkaan kemudian kembali berbicara, "lo bahkan nggak bisa menahan amarah lo, Arkaan. Dan seorang pemimpin seharusnya memiliki kesabaran yang tinggi dan kemarahan yang rendah. Bagaimana jika ada seorang pemimpin yang memiliki amarah yang tinggi dan merasa marah setiap kali mendengar keluh kesah rakyatnya? Bukankah pemimpin itu mungkin saja bisa memukul rakyatnya dan bukan melindunginya. Tidak ada pemimpin yang seperti itu Arkaan."

Arkaan hanya diam, memalingkan wajah dan kembali jalan katak. Dia mendengus marah, karena tak bisa membalas ucapan Bian yang entah bagaimana bisa berpikir dewasa seperti itu untuk seorang anak remaja seperti mereka hingga pada akhirnya dia hanya mengucapkan satu kata, "Terserah."

Sejak saat itu mereka sering berdebat, saling melempar tatapan tak suka terutama untuk Arkaan yang selalu berdecih muak melihat sifat Bian yang terlalu ramah atau berpura-pura ramah menurutnya.

Dan sekarang entah bagaimana bisa cowok tiang listrik yang merupakan rivalnya ini sudah berada di meja ruang makan bersama keluarga Ayra.

Ini masih pagi, masih jam enam pagi tetapi kenapa cowok itu sudah duduk manis di samping Ayra. Dan itu kursinya! Seharusnya. Jika saja Bian tak menempatinya, lalu sekarang dia harus duduk di mana? Semua kursi sudah diduduki semua, tidak ada kursi kosong lagi.

Arkaan menatap tajam Bian, mengucapkan kata "minggir" tanpa suara, namun hanya ditanggapi dengan seringaian Bian.

Diam-diam Arkaan mengumpat dalam hati.

"Duduk Ar,"

Arkaan mengernyit tak suka pada Daniel yang menyuruhnya duduk sambil tetap memakan nasi gorengnya. Ck, apakah cowok manja itu tidak melihat jika semua kursi sudah terisi semua?

"Nggak usah! Lo pulang aja sana. Ayra berucap ketus menatap Arkaan dengan penuh kebencian.

"Tidak boleh berbicara seperti itu Sayang, Arkaan juga udah seperti anak sendiri di keluarga ini," kata Rehan yang tanpa sadar membuat Bian mengernyit tak suka.

Cowok tinggi itu mencengkram sendok dalam genggamannya, bahkan sebelum memulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya napsu makannya sudah menghilang terlebih dulu. Bian mendongak, dan dapat dilihatnya Arkaan yang menyeringai senang. Berkata tanpa suara, cowok itu menggerakkan mulutnya seolah-olah mengatakan: Lo lihat? Kehadiran gue lebih berarti dari pada lo.

Dan Bian merasakan kekalahan dalam hal itu karena dia tahu, dia mungkin tak akan bisa menggantikan posisi Arkaan di hati kedua orangtua Daniel terutama ayahnya.

"Sebentar Om ambilkan kursi dulu," Rehan beranjak dari duduknya namun suara Arkaan membuatnya mengurungkan langkah untuk meninggalkan ruang makan.

"Nggak usah Om, Arkaan harus pulang sekarang."

"Lho kenapa Arkaan? Nggak sarapan dulu?" Kali ini Elena yang bertanya setelah lama terdiam.

"Arkaan harus ke stasiun sekarang Tante, Bi Minah pulang jadi Arkaan harus menjemputnya."

"Oh begitu, ya sudah Tante titip salam ya buat Bi Minah."

Arkaan mengangguk, setelahnya cowok itu berpamitan dan pergi ke luar rumah.

Tapi sepertinya Arkaan memang selalu ditakdirkan untuk ribut dengan Bian. Entah bagaimana bisa rivalnya itu kini tepat berada di hadapannya.

"Gue buru-buru, jangan ganggu gue." Arkaan berucap langsung ketika Bian berhenti tepat di hadapannya

Namun Bian hanya diam dan menatapnya, membuat Arkaan tanpa sadar memutar matanya malas, "Gue hitung sampai tiga kalau lo nggak ngomong juga, gue tinggal." Arkaan mengangkat salah satu alisnya, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, "satu," Bian masih diam, "dua," bahkan dalam hitungan kedua, masih tetap sama.

"Ti--"

"Jauhin Ayra."

Dua kata dalam satu kalimat yang terlontar dari mulut Bian nyatanya mampu membuat Arkaan mendengus kesal. Kedua tangannya terkepal, memalingkan wajah sebentar kemudian kembali menatap Bian. Tatapannya menajam, juga dingin di saat bersamaan. Arkaan menyeringai, lantas berdecak.

"Jauhin Ayra?" tanyanya memastikan akan ucapan Bian barusan, mungkin saja dia salah mendengar. Namun Bian hanya diam menatapnya datar. "Ck," lagi-lagi suara decakan ke luar dari mulut Arkaan.

Arkaan membasahi bibirnya, kemudian kembali berkata, "Sampai kapan pun gue nggak akan pernah jauhin dia. Jadi jangan pernah meminta hal yang tidak akan pernah terjadi."

Bian mendengus tak percaya, "Lo dan dia udah mantan. Jadi jangan pernah mengharapkannya lagi," ucapnya dengan penekanan pada kata 'mantan'.

"Gue emang mantannya, tetapi takdir nggak ada yang tahu 'kan? Bisa saja suatu saat nanti gue yang akan menjadi suaminya."

"Tapi Ayra nggak cinta lagi sama lo, jadi bisakan lo jauhin dia dan berhenti buat dia kembali sama lo. Jangan pernah meminta hal yang tidak akan pernah terjadi Arkaan."

🍁🍁🍁

To be continued

20 Mei 2018

1143w

This Love Is Not YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang