PIANO🎹 TUA

1K 41 1
                                    

“Yah, inilah dia. Hasil yang bisa kutuliskan. Aku tak tau bagaimana lagi caranya untuk memberitahukannya padamu. Kurasa hanya inilah satu-satunya cara bagimana aku bisa menceritakan semuanya dengan benar. Semoga kau bisa mengerti.”
Begitulah kalimat pembuka surat yang aku terima seminggu yang lalu dari Eddie. Ia telah pindah dari komplek. Dengan membawa semua barang-barangnya — tak terkecuali.

Dari balik jendela ku lihat piano itu. Piano usang yang sering diceritakan Eddie, dipindahkan oleh orang-orang itu ke dalam truk rental biru yang sedang terparkir di depan rumahnya. Piano bergaya klasik yang bahkan hampir semua tutsnya rusak itu dipindahkan dari rumah Eddie ke dalam truk rental. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran orang yang baru saja menjadi tetanggaku selama 2 bulan yang akan pindah lagi itu.
“Untuk apa piano tua itu diangkut juga?”

Mungkin untuk sebagian orang yang ingin pindah rumah, beberapa barang tua yang tidak bisa diperbaiki (dipakai) lagi, biasanya akan ditinggalkan di rumah lamanya. Atau bahkan dibuang, mungkin juga dibakar. Yah, setidaknya lebih baik disumbangkan. Namun lain halnya dengan orang ini. Dia begitu sentimentil dengan piano itu. Biar ku perjelas. Piano ini bermotif Weber Grand, yang tentu mahal harganya, bergaya klasik tahun 1900-an, berwarna hitam. Menurut cerita Eddie, ia mendapatkan piano itu dari kakeknya yang merupakan seorang pianis ulung pada zamannya. Ia juga mengatakan bahwa dulu, kakeknya itu pernah satu panggung dengan Scott Joplin asal texas itu. Kakeknya itu meninggal setahun setelah piano itu diberikannya pada Eddie.

Tuts piano itu hampir seluruhnya tidak berfungsi. Kayunya sudah lapuk dan ada yang berlubang karena dimakan rayap. Ia sering kali menyisipkan cerita tentang piano ini di sela-sela pembicaraan kami. Kadang-kadang aku berpikir kalau dia gila. Ia sering berkata kalau di setiap ia akan tidur, kakeknya selalu berada di depan piano itu dan memainkan sebuah lagu pengantar tidur baginya. “Hah, yang benar saja, orang ini gila”.

Yah, kau tentu menganggapnya gila. Aku juga demikian waktu itu. Tak di sangka ternyata orang gila itu seratus persen normal dan tak ada cacat mentalnya.
Yah, biar kuteruskan isi surat Eddie itu, agar kau mengerti maksudku.

“Kau tentu menganggap aku gila, iya kan? Tak apa bung, banyak orang menganggap aku begitu. Tapi ketahuilah, beberapa orang yang menganggap aku gila tadinya, sekarang telah menjadi pasien di rumah sakit jiwa. Aku tidak mengada-ada (bercanda) soal piano ini bung. Aku sendiri terkadang merasa takut, bahkan hampir gila akan hal ini. Ia berada di sana dan memainkan lagu gubahan Bach “Toccata and Fugue in D Minor” sewaktu aku akan tidur. Memang itulah kebiasaannya sejak aku ber-umur 10 tahun hingga ia meninggal. Aku pernah meninggalkan piano itu di rumah lamaku belum lama ini, dan kau tahu apa yang kutemukan? Piano itu berada di kamarku keesokan paginya. Aku tahu kau adalah seseorang yang memakai akal sehat atau logika untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupmu. Begitu juga aku. Melihat kejadian ini, akal sehat tidak ada gunanya. Jika kau berada di posisiku saat ini, apa yang akan kau lakukan? Tidak ada penyelesaian kutemukan di sini, bung.”

Yah itulah dia. Penggalan isi surat Eddie yang masih kusimpan. Surat ini penuh dengan teka-teki yang tidak dimengerti.
Baik. Biar kuperkenalkan diriku terlebih dahulu.
Namaku Peter. Aku baru dua bulan bertetangga dengan orang ini. Bisa dibilang kami sudah akrab sebulan terakhir ini. Apalagi dia juga bekerja di tempat aku bekerja. Yah, kau tahu, menghabiskan waktu makan siang —waktu istirahat perusahaan— di meja yang sama, bekerja di perusahaan yang sama, di bidang yang sama dan tinggal di satu komplek yang sama. Tentu kami banyak mengobrol tentang keseharian kami. Aku sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, sedang dia seorang duda yang ditinggal pergi istrinya karena tingkahnya yang aneh itu. Ia adalah seorang yang tertarik dengan musik, sama sepertiku hanya saja berbeda genre.

Kalau kau memperhatikannya, ia adalah orang yang pendiam, gugup, namun mengamati sesuatu di sekelilingnya dengan serius. Terkadang aku bingung melihatnya, ia adalah orang yang nyambung kalau diajak berbicara, topik apapun itu meskipun kelihatan ia berusaha untuk menyelaraskan suasana pembicaraan. Ia tidak memiliki anak, dia tinggal sendiri di rumahnya.

Cerita HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang