Ruang UKS sepi waktu Rama mengipasi Ajeng yang belum sadarkan diri sejak lima belas menit lalu. Tak tahu pergi ke mana para petugas UKS yang biasa berjaga. Ketika Rama hendak membuatkan segelas teh hangat untuk cewek yang gemar memakai celana olahraga itu, Ajeng justru tersadar dan membuka matanya. Dia terkejut seraya menjauhkan tubuhnya sedikit ke pinggir ranjang.
"Ngapain lo di sini? Dan kenapa gue bisa ada di sini?"
Rama berdiri dan sedikit memajukan wajahnya. "Ini ruang UKS. Lo tadi pingsan waktu dihukum sama Pak Anton, makanya gue bawa lo kemari."
"Memangnya lo nggak ikut olahraga apa?" Ajeng tahu itu karena Rama saat ini tengah mengenakan seragam olahraga.
"Gue tadi dihukum juga, berdiri satu kaki, terus mungutin daun kering di pohon depan deretan kelas 12. Lo dihukum karena pake celana olahraga lagi, ya, Jeng?" Rama membalikkan badan dan pergi.
"Lo mau ke mana?"
"Bikinin lo teh manis hangat. Katanya teh manis itu bagus buat orang yang baru sadar dari pingsan. Kenapa, lo takut, ya, gue tinggalin?"
"Apaan, sih, lo!"
"Nggak usah takut," bunyi gelas yang diletakkan di piring kecil mulai terdengar menjadi penghias obrolan mereka. "Nggak usah takut buat jatuh cinta, karena cinta itu anugrah dan nggak pantas buat ditakuti. Orang yang takut sama cinta cuma orang yang nggak pandai bersyukur."
Ajeng diam saja dan tak berpikir untuk menjawab pertanyaan Rama mengenai kenapa dia selalu memakai celana olahraga. Bunyi air panas yang dituang dari termos dan sendok kecil yang menyundul-nyundul dinding gelas karena mengaduk gula agar cepat larut, kini menjadi penghias obrolan mereka selanjutnya. Setelah itu, Rama meletakkan segelas teh manis hangat itu ke meja di samping ranjang tempat Ajeng berbaring.
"Nanti diminum, ya, tehnya!" kata Rama yang kemudian duduk di kursi samping ranjang.
"Kenapa tadi lo ngomong masalah cinta-cintaan, sih? Emangnya siapa yang lagi jatuh cinta?"
"Lo, kan!"
"Maksud lo, gue jatuh cinta sama lo, gitu? Idih!"
"Sekarang, sih, emang belum, tapi nanti." Rama tersenyum manis.
"Dari kemarin gue perhatiin lo kepedean banget, ya, jadi cowok!"
"Becanda. Ya, gue memang begini adanya. Gue cuma nggak bisa aja ngeliat ada cewek yang dihukum terus begini, makanya gue berusaha menghibur lo."
Rama meraih teh hangat itu dan memberikannya kepada Ajeng yang kini dalam posisi duduk. "Ayo, minum dulu tehnya! Biar tenaga lo pulih kembali."
Ajeng pun mengangguk dan menyambut teh itu, lalu hendak menyeruputnya. "Duh, panas, Ram. Ini, sih, bukan hangat, tapi panas. Lo mau bikin jontor bibir gue, ya?"
"Pikiran lo tu, ya, negatif mulu. Udah jelas-jelas ditolongin, eh, mikirnya masih aneh-aneh. Sini!"
Rama mengambil tehnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mengambil sendok kecil yang terletak di piring kecil itu. "Pake akal, dong! Kalo nggak bisa diminum pake gelasnya karena panas, pake sendok ini, trus ditiup."
Rama menciduk sesendok teh yang menurut Ajeng masih panas itu, lalu meniupnya. Setelah sudah merasa agak dingin, barulah Rama menyodorkannya ke mulut Ajeng. "Buka mulut lo!"
Ajeng menggeleng dan hendak meraih kembali gelas berisi teh panas itu. "Biar gue aja. Gue bisa sendiri, kok."
"Lo ini bawel, ya. Susah banget mau ditolongin aja. Sudah, buruan buka mulut lo, biar gue suapin! Buka mulut aja takut banget kayak disuruh buka celana."
Ajeng pun tak kuasa menolak. Dia membuka mulutnya dan pelan-pelan menyeruput teh yang ada di sendok suapan Rama itu.
"Enak, kan!"
Ajeng tersenyum kecil. "Iya."
Rama terus menyuapi sesendok demi sesendok teh panas yang terlebih dahulu ditiupnya sampai dingin itu, hingga tak terasa satu gelas teh pun habis. Entah kenapa, setiap kali Rama menyuapi sesendok teh itu, ada getaran yang tak biasa di area jantungnya, ada degup yang tak biasa yang bahkan belum pernah dikenalnya selama ini. Sedikit banyak, Rama telah membuatnya nyaman.
"Lo belum jawab pertanyaan gue!"
"Pertanyaan yang mana?"
"Tentang celana olahraga."
Ajeng diam saja.
"Ok, fine, kalo lo nggak mau ngasih tahu kenapa lo make celana olahraga tiap hari, setidaknya kasih tahu gue lo dari kelas 10 berapa?!" Rama terus berusaha mengorek informasi.
"Gue bukan kelas 10."
"Jadi kelas 11? 11 IPA, IPS atau Bahasa?"
"Gue kelas 12."
"12 apa?"
Ajeng langsung gelisah. Dia bergerak menuruni ranjang. "Gue harus kembali ke kelas. Gue baru ingat ada ulangan Biologi. Makasi, ya, atas pertolongan lo. Makasi juga buat suapan tehnya. Badan gue jadi enakan."
Ajeng meninggalkan ruang UKS. Rama memandanginya sampai lenyap. Pertanyaan demi pertanyaan terasa semakin berserakan di dalam kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Celana
Teen FictionUPDATE TIAP SABTU [Baca cepat di Karyakarsa] Di hari pertama kelas 10, Rama heran mendapati ada seorang siswi bernama Ajeng yang selalu memakai celana olahraga meski bukan pelajaran penjaskes. Anehnya, setiap guru atau siswa lain yang mempermasalahk...