"Eh, lo lihat Rama nggak?" tanya Andika kepada salah satu siswa kelas sebelah yang sedang berdiri di samping pintu.
"Tadi, sih, gue liat dia di kantin," sahut siswa itu yakin.
"Ok, thanks, ya."
Andika segera berlari menuju kantin. Sebentar lagi waktu istirahat habis dan pelajaran Matematika Wajib akan segera dimulai. Andika memang selalu begitu, gelisah kalau tidak ada Rama saat pelajaran berhitung. Rama seolah menjadi pijakan utamanya.
Dia menyusuri seantro kantin, tapi sama sekali tidak menemukan Rama. Dia menggerutu. "Duh, lo ke mana, sih, Ram? Bentar pelajaran Matematika, Ram. Logaritma lagi. Gue nggak ngerti banget. Bisa mampus, nih, gue dihukum sama Bu Tiar yang galaknya kalah-kalah nenek lampir itu."
Andika menghampiri siswa yang sedang asyik memakan semangkok bakso. Kebetulan siswa itu sendirian dan dia mengenal Rama. "Eh, lo liat Rama nggak?"
"Di perpus," sahutnya sambil mengunyah bakso. Mie berwarna kuning dan putih masih menggantung di sudut bibirnya akibat belum sempurna masuk ke mulut. "Tadi gue liat dia di perpus, di rak buku Matematika."
"Ok, thanks, ya."
Andika pun lantas berlari menuju perpustakaan sekolah yang terletak hampir di daerah belakang. Namun pada saat dia tiba di depan perpustakaan itu, dia memang bertemu Rama, tapi dari jauh. Rama tengah digelandang bersama Ajeng oleh tiga orang berbadan besar dan tinggi, yang diduga oleh Andika adalah kakak kelas. Pada leher mereka digantungi semacam papan tripleks kecil yang ditempeli kertas putih polos depan belakang dan ada tulisannya.
"Itu, kan, Rama sama Ajeng. Mau dibawa ke mana mereka? Duh, Rama, Rama, kan, udah gue bilang jangan berurusan sama cewek aneh itu. Kena sial, kan, lo sekarang."
Andika mengikuti mereka dari lorong yang berbeda. Ternyata mereka dibawa ke lapangan sekolah lalu diberdirikan tepat di depan tiang bendera. Seluruh siswa yang tengah asyik dengan kesibukannya masing-masing, mendadak terkejut dan berkumpul di pinggir-pinggir koridor kelas. Mereka menertawai Rama dan Ajeng. Sedangkan Andika bingung harus berbuat apa dan memilih berdiri saja di depan pintu kelasnya yang kini ramai.
Andika sangat menyesali perbuatan Rama yang masih saja mendekati cewek eksentrik pemakai celana olahraga tiap hari itu. Baginya, Rama saat ini mendapatkan kutukan.
👖👖👖
"Berdiri kalian di sini!" bentak kakak kelas yang tadi mengurung Rama di gudang itu. "Sampe jam istirahat habis, kalian nggak boleh ninggalin lapangan ini. Dan ingat, jangan juga berani-berani melepas tulisan yang menggantung di leher kalian itu kalau nggak mau dapat masalah yang lebih besar dari ini!"
Ajeng menangis. Ia tak sanggup menahan air matanya. Memang sejatinya dia adalah cewek yang cengeng. Rama gelisah bukan karena hukuman ini, dia bahkan tidak malu sama sekali, tapi dia gelisah karena melihat Ajeng menangis.
Kakak kelas yang berjumlah tiga orang itu kemudian pergi dari hadapan mereka. Lautan tawa dan ejekan dari seluruh siswa yang menontoni mereka dari koridor-koridor kelas, menghujani tanpa ampun.
"Jeng," panggil Rama. "Jangan nangis, plis! Gue nggak bisa liat lo nangis."
Sambil bercucuran air mata, Ajeng menyahut. "Gimana gue nggak nangis coba. Lihat, nih, di leher kita digantungin papan bertulisan apa. Gue malu, Ram."
Ajeng menutup mukanya karena tak tahan menanggung malu ini, tak tahan membayangkan seluruh siswa membaca apa yang tertulis di papan yang menggantung di dadanya itu.
"Bukan lo aja yang malu, Jeng, gue juga, tapi setidaknya lo nggak sendiri. Di sini ada gue, Jeng."
Ajeng tak merespons sama sekali. Bahkan untuk menurunkan tangan dari wajah saja dia enggan. Papan itu bertuliskan, KAMI ADALAH DUA ANAK ANEH.
Rama, dengan segudang sikap santainya itu, tahu harus berbuat apa untuk membuat Ajeng berhenti menangis. Dia melambaikan tangan ke arah Andika, memanggilnya untuk menghampirinya sejenak. Andika pun terpaksa menuruti.
"Ya elah, Ram, Ram," lenguh Andika waktu tiba di hadapan Rama. "Lo, sih, kan, udah gue bilang jangan deket-deket sama-"
"Udah, nanti aja lo ceramahnya! Sekarang lo tolongin gue!"
"Gue takut, Ram, sama Kak Rey, nanti gue di-"
"Lo tenang aja, gue cuma minta tolong ambilin spidol hitam di tas gue."
"Buat apa?"
"Udah, buruan ambil! Nanti juga lo tau."
Andika segera berlari dan mengambil spidol hitam itu di dalam tas Rama lalu dengan cepat juga dia memberikannya kepada pemiliknya.
"Makasih, Dik. Sekarang lo kembali aja ke kelas. Lo lihat apa yang bakal gue lakuin!"
Andika pergi bukan karena perintah Rama, tapi karena takut ketahuan sama kakak kelas yang ternyata bernama Rey itu.
Yang dilakukan Rama kemudian adalah dia membalik papan yang menggantung di dadanya itu, lalu menuliskan sesuatu. Setelah selesai, dia memanggil Ajeng.
"Jeng, lihat, deh, gue nulis apaan!"
Ajeng menggeleng. Dia masih tak mau melepas tangannya dari muka. Rama langsung mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya. Dia menyentuh kedua tangan Ajeng lalu pelan-pelan menurunkannya, meski membutuhkan sedikit tenaga karena Ajeng berusaha menolak.
"Lo apa-apaan, sih?"
"Sekarang lihat mata gue seperti tadi waktu di gudang!" Rama memerintahkan.
"Nggak mau."
"Lihat, Jeng."
"Nggak."
"Ok, kalo lo nggak mau, nggak papa, tapi lo harus mau lihat tulisan ini!"
Ajeng pun dengan terpaksa melihat tulisan yang sekarang menggantung di dada Rama itu. Dia terkejut waktu mengetahuinya.
GUE MAU JADI BAGIAN DARI KEANEHAN YANG AJENG CIPTAIN. GUE ADALAH BAGIAN DARI CELANA OLAHRAGA AJENG.
Belum sempat Ajeng mengutarakan keheranannya, Rama kembali ke posisinya semula, menghadap ke seluruh siswa yang kini menonton dan menertawainya. Dia dengan bangga memperlihatkan tulisan itu kepada semua orang.
Rama menoleh ke arah Ajeng yang rupanya sejak tadi tak berhenti menatapnya. Rama pun tersenyum. Entah kenapa air mata Ajeng tiba-tiba berhenti mengalir. Dia takjub dengan apa yang dilakukan oleh Rama. Belum pernah dia merasa senormal ini sebelumnya.
Ajeng tersenyum membalas senyuman Rama dan kemudian tertawa ketika melihat Rama tertawa. Mereka seolah tak peduli lagi dengan semua siswa yang menontoni mereka. Di sini, tempat pertama kali mereka bertemu, di lapangan ini, di sekolah ini, dalam pandangan mereka tak ada siapa pun, yang ada hanya mereka berdua, yang dibalut buaian asmara. Benih-benih cinta itu mulai tumbuh.
Rama berhasil membuat Ajeng tidak menangis lagi, tidak malu lagi. Lebih dari itu, dia bahkan telah berhasil membuat Ajeng merasa normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Celana
Ficção AdolescenteUPDATE TIAP SABTU [Baca cepat di Karyakarsa] Di hari pertama kelas 10, Rama heran mendapati ada seorang siswi bernama Ajeng yang selalu memakai celana olahraga meski bukan pelajaran penjaskes. Anehnya, setiap guru atau siswa lain yang mempermasalahk...