7 - Kangen Celana

19.6K 456 17
                                    

Sekujur tubuh Ajeng menggetar hebat. Meski dia berusaha untuk menenangkan dirinya, getaran itu tetap saja mendominasi. Dia ketakutan. Dia tidak terbiasa berada di tempat segelap ini. Apalagi di sini sangat kotor dan berdebu. Tumpukan barang di mana-mana, sarang laba-laba di sana-sini, bunyi tikus curut keliaran hilir-mudik, cecak saja bahkan menjauh dan melarikan dirinya ke pojok-pojok plafon.
 
"Kenapa, sih, mereka jahat banget?" Ajeng menangis sambil meringkuk dan memeluk lututnya yang menegak sejak tadi. Itu semacam cara yang ia ciptakan agar ada sesuatu yang dapat melindunginya.
 
"Apa, sih, salahnya kalau gue pake celana olahraga terus? Gue, kan, nggak merugikan mereka sama sekali."
 
Ajeng sesenggukan. Dia tak mampu lagi menahan air mata yang berjatuhan itu. Pipinya telah basah, hatinya kalut, pikirannya kosong. Kini getaran itu menjalar hingga ke mulut sehingga bibirnya ikut bergemeretak layaknya orang dilanda demam.
 
Gue takut sama gelap, tapi gue lebih takut kalau sampe kejadian itu terulang lagi.
 
Ajeng menggeleng-geleng. "Udah, gue nggak boleh mikirin itu, tapi gimana caranya gue bisa keluar dari sini?"
 
"Tenang!" sebuah suara tiba-tiba menyahut, suara laki-laki.
 
Ajeng langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. Matanya melotot. Dia semakin ketakutan mengingat tidak mungkin di tempat segelap ini ada orang, kecuali makhluk astral.
 
Suara itu menjelma menjadi derap langkah yang terdengar mendekatinya. "Kita pikirin sama-sama gimana caranya keluar dari sini, ok!"
 
Sosok itu akhirnya muncul dari balik tumpukan barang. Ajeng terkejut bukan main, meski jauh di dalam lubuk hatinya senang karena ternyata dia tidak sendiri di ruangan ini.
 
"Rama!!!"
 
"Nggak usah kaget, tenang aja, gue bukan setan, kok!" Rama tersenyum santai seolah masalah yang kali ini dihadapinya cuma sepele saja. "Gue cuma cowok yang diciptakan Tuhan untuk muncul di saat lo butuh bantuan orang lain."
 
Rama kemudian mendekati Ajeng dan mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. Tanpa sungkan dia menghapus air mata Ajeng dan mengelap pipinya yang basah dengan telapak tangan. Dan Ajeng sama sekali tidak melakukan pemberontakan, entah kenapa, atau karena dia belum bisa menyirnakan rasa keterkejutan itu.
 
"Tenang aja, gue ada di sini buat lo. Nggak usah nangis lagi, ya. Gue paling nggak bisa ngelihat cewek nangis. Bawaannya pengen meluk sama manjain supaya diem."
 
Kali ini Ajeng sedang tak berpikir untuk meladeni jiwa kepedean Rama itu. Tak bisa dipungkiri dia memang senang setiap kali melihat Rama muncul tiba-tiba di saat dia sangat membutuhkan bantuan, tapi air mata itu masih juga belum berhenti.
 
"Kok, masih nangis, sih? Udah dong! Gue bukan pacar lo. Kalo gue pacar lo, pasti udah gue peluk lo sampe berhenti nangis," goda Rama. Tangannya masih setia menghapus air mata yang mengalir di pipi Ajeng itu dan Ajeng tak berontak. Dia seperti pasrah.
 
"Udah," Ajeng menepis pelan tangan Rama dari pipinya. Dia mengusap sendiri pipinya dan berjuang keras untuk berhenti menangis. "Lo ini hantu atau apa, sih, Ram? Kok, bisa muncul di dalam gudang sekolah begini!"
 
Seharusnya gue yang nanya gitu sama lo, Jeng. Lo, celana olahraga dan kutukan itu bahkan jauh lebih misterius dibanding gue.
 
Rama memilih untuk tersenyum manis ketimbang harus mengungkapkan segala yang mengganjal di hatinya itu. "Gue bukan hantu, Ajeng, gue manusia, gue cowok biasa."
 
"Terus, kenapa lo bisa ada di sini?"
 
"Gue kira tadi lo denger ada ribut-ribut di depan pintu gudang."
 
"Gue nggak dengar apa-apa. Gue ketakutan."
 
"Tadi gue dibawa ke sini sama Kakak kelas dari kelas 12 IPS 4. Waktu gue nyariin lo di kelasnya, dia marah karena nggak terima gitu. Menurutnya gue udah gangguin dia ngerjain tugas Kesenian. Dia ngancam bakal gebukin gue sama teman-temannya kalo gue nggak mau dibawa ke sini. Ya, udah, gue nurut aja. Eh, ternyata ketemu lo di sini. Kebetulan!"
 
"Ngapain lo nyariin gue?"
 
"Kangen."
 
"Kangen?"
 
"Iya, kangen lo sama celana olahraga lo. Kenapa, sih, lo bohong masalah kelas juga? Sampe segitunya, ya, gue nggak boleh tau tentang lo?"
 
"Jangan gombal, deh! Kita baru aja kenal."
 
"Terus?"
 
"Ya, nggak mungkin, kan, bisa langsung kangen."
 
"Terus?"
 
"Ya, begitu."
 
"Udah, gitu doang?"
 
"Iya."
 
"Lo kebiasaan, ya! Kenapa, sih, lo nggak pernah mau jawab pertanyaan yang menurut gue penting?"
 
Ajeng terdiam sesaat. Setidaknya, kehadiran Rama membuatnya tidak takut lagi. Air matanya kini telah berhenti mengalir. Getaran di sekujur tubuhnya juga berhenti.
 
"Penting?"
 
"Iya, bagi gue sekarang lo dan segala tentang lo itu penting."
 
Ajeng seperti tersadar akan sesuatu. Sungguh baru kali ini ada cowok yang mau mendekatinya. Selama ini, cowok justru menjauhinya karena segudang keanehannya itu, bahkan teman-temannya juga.
 
"Kenapa?"
 
"Karena mulai sekarang gue mau jadi bagian dari segala keanehan yang lo ciptain itu."
 

Cinta Dalam CelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang