Prolog: Jack

50 6 4
                                    

Dalam semesta yang tak terbatas, terdapat konsep yang dibentuk oleh persepsi manusia—ruang yang menjadi inti dari setiap kejadian yang mempunyai kemungkinan tak dapat diprediksi dari per bagian dari persentase.

Di tengah ruang yang terasa begitu jauh dari jarak capai kelima indera manusia itu, terlihat sosok manusia dengan gaun putih jatuh memanjang hingga terseret di atas lantai tak terjelaskan—karena memang tak terdapat "konsep" dari atap dalam ruang tersebut.

Jika dipaksa masuk dalam lingkup komprehensif manusia, sosok tersebut bisa diartikan sebagai "perempuan". Lebih tepatnya seorang "gadis", atau malah lebih mendekati pengertian dari "wanita"?

Tak ada yang bisa memastikan, tak terdapat saksi yang merekam kejadian dengan mata kepalanya sendiri.

Meski memang ada, pasti tak ada yang bisa menangkap informasi dengan jumlah yang melebihi kapasitas otak manusia dan batas dari logika itu sendiri bisa hancur dalam seketika.

"Haha ... hahaha."

Namun, dia hanya tertawa. Ya, dia tertawa meski tak ada seorangpun—satu makhlukpun yang berada di dekatnya

Dia mengangkat jari telunjuk dan menaruhnya di atas bibir merah menggodanya, lalu kemudian mengeluarkan suara yang mungkin dapat menghilangkan kewarasan yang merupakan dasar dari makhluk yang disebut manusia.

"Maafkan aku karena telah memperlihatkan sesuatu yang tak sopan. Sebagai gantinya, aku akan menceritakan suatu cerita yang sangat menarik. Kisah dari berbagai belahan dunia, berbagai kluster bintang, dan berbagai satuan galaksi yang membentuk jalan—hmm?"

Namun dia terhenti, seolah lupa dengan dasar yang harus dijalankan sebelum dia memulai percakapan. Entah, apakah dia berbicara dengan dirinya sendiri di tempat itu bisa dibilang sebagai "percakapan".

"Ohhh! Aku sangat lupa. Bagaimana aku bisa melewatkan hal dasar semacam ini?"

Dia tersenyum, tanpa ada rasa penyesalan yang muncul dari lipatan di bibirnya.

"Perkenalkan, namaku adalah ... hmm, siapa namaku? Aku sudah lupa akan asalku—asal keluargaku, asal namaku, asal hidupku. Tapi, supaya mudah bagi kamu untuk memanggilku, sebut saja aku 'Angel'. Sebutan yang indah, bukan? Aku adalah malaikat, heh heheh."

Dia tertawa bak seorang anak kecil yang tertawa sendiri karena khayalannya sendiri di mana dia diperlakukan sebagai suatu putri dari kerajaan nan jauh di sana.

"Karena aku sudah memperkenalkan diriku, tak aneh jika aku menanyakan siapa dirimu, bukankah begitu? Kalau begitu, 'Aku ingin menjadi temanmu, bolehkah aku tahu namamu?'"

Nada suaranya terdengar ramah, namun siapapun dengan logika yang waras akan segera menyadari dalamnya kengerian dari kalimat tersebut. Meski, tak ada yang tahu apakah konsep dari "waras" berlaku di ruang tak terdefinisi ini.

Dia memiringkan kepalanya dalam heran, tak ada jawaban yang datang kepadanya merupkan penyebabnya.

"Kenapa, kamu tak mau memberitahu namamu? Kamu malu ya? Tak usah malu, aku tak akan menertawai namamu meski itu terdengar jelek, fufufu, aku janji. Ya ya ya!! Maukah kamu memberitahu namamu?"

Meski dia sudah bergirang ria seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah, tetap tak ada jawaban yang dia terima. Karena bagaimanapun, tak ada satupun orang di dalam ruang tersebut yang bisa membalas permintaan dari Angel.

Tapi, dia tak akan berkata "Oh, begitu ya." dengan santainya dan menerima keadaan bahwa tak ada satu makhlukpun yang dapat bercakap sebanding dengannya.

"Atau, atau, atau, atau atau atau atau atau atau atau atau kamu tak mau berteman denganku?!! Iya?!! Kamu tak ingin bermain denganku dan bercanda dengaku?!! Iya?!!!!!!"

Ruang tersebut bergetar, menggoyang segala konsep dari pemahaman manusia dan mulai runtuh secara acak. Pantulan hitam terpancar dari balik dinding putih yang memanjang memenuhi ruang. Semesta itu sendiri telah masuk dalam hitungan mundur hanya karena tangisan anak kecil yang tak diajak bermain oleh anak-anak seumurannya lalu mengadu pada orangtuanya.

Apakah semuanya akan berakhir? Tempat ini? Dunia ini? Semesta ini? Hanya karena ... hanya karena hal sepele semacam itu? Mungkin, tak ada yang tahu. Tak ada yang bisa menghentikan sosok perempuan itu setelah dia mulai merengek tak karuan.

Namun, harapan masih terhampar ... meski sekecil genangan air di jalan berlubang dan dapat dilewati hanya dengan satu langkah kaki.

Hitungan mundur penghancuran alam semesta telah berhenti digantikan senyuman yang lebih memukau dari terbitnya matahari di pagi hari.

"Ah, aku tahu! Kamu tak tahu siapa dirimu, ya kan? Kamu sama sepertiku! Ah ha ha ha, aku tahu pasti begitu!! Ya, ya!!! ... tapi, jika kamu tak mempunyai nama, bagaimana aku harus memanggilmu?"

Wajah seriusnya terlihat manis dengan beberapa rasa kecut seolah dia sedang memikirkan nama yang ingin diberikan pada anak anjing kecil yang baru saja diberikan oleh orangtuanya sebagai kado ulang tahun.

"Ah, bagaimana dengan 'Jack'? Kurasa itu terdengar bagus untukmu. Nama itu keren, terdengar gagah, dan terdengar begitu dewasa. Oh, jack! Oh ... mulai sekarang kita akan berteman selamanya!"

Masih saja, tak ada juga balasan yang menjadi dasar dari percakapan. Tak ada yang sebanding, tak ada yang setara, tak ada yang memahami, karena di adalah fenomena yang begitu tinggi, sangat tinggi bahkan mungkin melebihi konsep yang dapat dijelaskan dari kumpulan huruf menjadi kata dengan arti.

Namun, seseorang mengangguk setuju dengan usulan Angel.

Tak ada bentuk yang jelas dari sosok yang setidaknya dapat membalas perkataan Angel bahkan meski hanya dengan suatu bahasa tubuh. Tak ada yang tahu siapa itu.

Hanya, itu sudah cukup untuk memuaskan hasrat Angel untuk memiliki teman bermain di ruang tak terdefinisi yang tak bisa dielak lagi merupakan tempat tinggalnya.

Kesepian, mungkin itu yang dirasakan olehnya. Sendiri di ruang itu, tak bisa bermain dengan siapapun. Bahkan kekuatannya yang begitu mahakuasa tak bisa memberikannya arti dari kesenangan.

Namun kini itu semua tak perlu dia khawatiri lagi, terlihat dari gerak tubuhnya yang sedikit melompat lalu berputar di atas satu kakinya sehingga rambut pirang keemaasan yang menghiasi kepalanya berkibar seolah menjadi satu dengan topi khas penyhir yang senada dengan gaunnya.

Sekali lagi, dia tersenyum.

"Ayo kita bermain, Jack!"

HeksenjachtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang