Chapter 02 - Candy's Family

606 128 38
                                    

Kalau begini aku pun jadi sibuk
Berusaha mengejar-ngejar dia
Matahari menyinari
Semua perasaan cinta
Tapi mengapa hanya aku yang dimarahi

Kakinya duduk bersila dengan damai. Fokus tidak terusik sedikitpun, melainkan semakin serius mendalami setiap adegan yang tersuguh pada layar. Bibir tipis sewarna buah cherry-nya bergerak pelan, menggumam pelan mengikuti alunan song opening salah satu kartun favorit. Tangan kiri memeluk erat sebuah toples besar berisi banyak cookies rasa cokelat, sementara tangan yang lain sibuk mengambil beberapa untuk dilahap. Segelas susu vanilla yang masih mengepul menemani, cocok untuk menghantarkan kehangatan di cuaca dingin pertengahan bulan Desember.

Benar-benar surga dunia, menduduki peringkat pertama sebagai salah satu aktivitas yang paling menyenangkan bagi Wendy. Camilan lezat, tontonan menarik, dan terbebas dari omelan penyihir —yang sayangnya merangkap menjadi sosok mirip ibunya. Sofa empuk warna merah maroon tempat dirinya duduk menghabiskan waktu dari tiga puluh menit yang lalu, terasa nyaman sekali. Membuatnya enggan untuk beranjak barang satu detik saja.

Trak.

Wendy berjengit kaget. Kepalanya menoleh, mendapati Nyonya Son sedang berdiri berkacak pinggang setelah meletakkan kasar sebuah piring berisi beberapa potong buah semangka di atas meja depan sofa. Tatapan matanya tajam dan menusuk. Seakan-akan sinar laser dapat memancar dari sana dan mengobrak-abrik seluruh isi rumah.

Kalau diperhatikan, raut wajahnya terlihat sedang kesal. Entah penyebabnya apa. Dan karena dirinya merasa tidak bersalah atau membuat masalah sama sekali, Wendy lantas bertanya dengan tatapan polos tanpa dosa, "Kenapa?"

Nyonya Son tidak menjawab, dia justru melotot seram —sempat terlintas dalam pikiran Wendy jika kedua bola matanya bisa saja terlepas. Masih dengan posisi yang sama, Nyonya Son bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"

Gadis itu mengendikkan bahunya acuh, "Tentu saja menonton televisi, apalagi?"

Tak lama kemudian, suara geraman pelan mengerikan tertangkap dengan sangat baik oleh indra pendengaran Wendy. Terdengar lirih, tetapi mampu membuat bulu kuduk merinding. Aura sekeliling berubah menjadi hitam pekat menyeramkan. Dibalik tubuh ibunya, Wendy bagaikan melihat kobaran api besar yang dapat menghanguskan seluruh kota Seoul dalam hitungan persekian detik.

Diam-diam Wendy menelan saliva berat. Jika sudah seperti ini, itu artinya pertanda buruk akan tiba.

Siaga satu. Bahaya datang. Wanita titisan hitler murka.

"Bukankah seharusnya kau membuka buku dan belajar? Ujian kelulusan tiga hari lagi, bagaimana bisa kau malah bersantai-santai seperti ini?"

Wendy terkesiap, "A-ah itu—"

Belum sempat membuat alibi sebagai benteng perlindungan diri, tangan kanan Nyonya Son telah lebih dulu bergerak. Mengapit sekaligus menarik kencang salah satu telinga Wendy dengan jari-jari lentiknya.

"Ampun—" Wendy merintih kesakitan. Kedua tangan berusaha melepaskan, walaupun tahu jika usahanya sudah pasti sia-sia. Telinganya berubah merah. Nyonya Son jelas memakai tenaga ekstra, dan itu sungguh menyakitkan.

"Tidak ada ampunan. Daripada menonton televisi, lebih baik manfaatkan waktu untuk belajar. Perlukah ibu menyeret dan mengunci kamarmu dari luar?"

Cklek.

Keduanya lantas berhenti berdebat. Serempak terdiam dan mengalihkan pandangan. Mereka menatap pintu rumah yang menjadi sumber suara tadi berasal. Raga Tuan Son adalah hal pertama yang Wendy dan Nyonya Son lihat, sedang berdiri setelah membuka pintu. Membungkuk untuk melepas sepatu kemudian menaruhnya dengan rapi di rak. Tubuh tegapnya masih terbalut seragam kantor, terlihat sekali pria itu baru saja pulang bekerja.

Platfrom 9¾ [ WenYeol ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang