1

26 2 0
                                    

"Anak sialan!"

Kai meringis sakit ketika tongkat golf itu menyentuh kepalanya dengan keras. Dengan susah payah, ia berusaha berdiri, namun sang Ayah sudah memukulnya lagi dengan tongkat itu.

"Kamu seharusnya mati saja! Kamu tidak usah hidup saja! Kenapa aku harus mengurusimu?!" Sang Ayah terus menerus memukul pemuda berumur delapan belas tahun itu tanpa ampun, meskipun badan Kai sudah penuh dengan lembam dan memar biru. Sementara itu, sang Ibu tiri duduk diam di sofa ruang tamu, menonton peristiwa dengan tatapan seolah hal itu hal normal.

Setelah puas, Sang Ayah meletakkan tongkat golfnya dan meludah pada anak itu. "Enyah kau!"

Kai dengan cepat namun susah payah berdiri dan berjalan menuju lantai dua. Ia meringis kesakitan ketika kakinya menginjak anak tangga satu persatu.

Sudah menjadi keseharian bagi Kai untuk menerima pukulan bertubi-tubi itu dari sang ayah selama 12 tahun. Alangkah beruntungnya bila ia bisa melewati satu hari tanpa kehadiran sang ayah didalam rumah. Setiap ia menginjak kaki kedalam rumah  ayah akan menyeretnya ke ruang tamu atau terkadang dapur, hanya untuk memukul bahkan menyiksanya kalau ia sedang dalam mood amat buruk. Pernah sekali ia disiram air panas, untung bisa ia tutupin bekas luka bakar pada paha kirinya.

Kai memang seorang pemuda berusia 17 tahun, namun ia tidak bisa melawan ayahnya sendiri. Secara kekuatan, ayah masih lebih tangguh karena ia belajar bela diri sudah lama. Sementara bila ia ia lapor ke polisi, pasti akan ditepis berkat status tinggi keluarganya. Bisnis ayah mendorong statusnya menjadi lebih terhormat dikalangan masyarakat, sehingga akan sangat susah untuk melawannya secara hukum. Ditambah lagi dengan latar belakang sang Ibu yang berasal dari keluarga konglomerat.

Kai menahan keseimbangan tubuhnya pada dinding, tangan kanannya merambat permukaan berlapis cat putih itu. Ketika kedua matanya sudah melihat garis lantai dua, ia menyadari sepasang kaki berdiri dihadapannya.

Gadis kecil itu menatapnya dengan pandangan prihatin, tangan kirinya menggenggam boneka teddy bear.

Kai tersenyun kepada adik tirinya. Ia menaiki anak tangga terakhir dan berjalan ke koridor, mencapai kamar terakhir dan paling jauh.

"Sakit?" Gadis berumur dua belas tahun itu menghampiri Kai namun dengan cepat pemuda itu menghentikannya.

"Aku tidak apa-apa. Kembalilah ke kamar sebelum Ibu menangkapmu."

Terakhir kali Yoko bertanya pada Kai, bahkan hanya sepatah kata pun, gadis itu di pukul di tangan oleh Ibu. Sesungguhnya, Yoko adalah anak kesayangan Ibu dan Ayah. Parasnya manis dan cantik. Ia selalu diberikan barang-barang mewah, tidak seperti Kai yang diberi barang buangan pemberian klien Ayah yang tidak diinginkan. Namun, rasa jijik Ibu kepada Kai membuat ia mau tak mau menghukum Yoko bila ketahuan berinteraksi dengan Kai.

Di mata keluarganya, Kai adalah kotoran. Kalau bukan karena skandal Ayah yang ketahuan menghamili prostitusi ketahuan, Kai pasti sudah berada dijalanan atau mungkin di panti asuhan. Itu sebabnya, sebagai tanggung jawab di mata masyarakat, Ayah tak punya pilihan selain mengadopsi Kai.

Yoko terus menatap punggung Kai yang sudah mau mendekati pintu kamar. Ia tetap tidak bergerak seolah-olah sedang mengawasi sang kakak tiri agar tidak terjatuh.

Tatapan mata Yoko yang melekat itu membuat Kai merasa lega tanpa disadari. Dengan senyum merekah di wajahnya, ia memasuki kamarnya. Setelah memastikan situasi aman, ia bergegas ke sebuah lemari kecil disamping tempat tidur dan mengambil sebotol balsem. Dengan kuat namun lembut, ia memijat bagian memar di kepala yang dirasanya bagian pukul.

"Aduh." Ia meringis. Ternyata lukanya lebih sakit dibanding yang ia kira. Apa mendingan ia biarkan memarnya hilang sendiri, ya? Toh memarnya di bagian kepala dan kaki, tidak ada yang tahu.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang