Keringat dingin mulai mengaliri tengkuk leher Kai. Wajahnya memucat. Namun, dengan cepat ia mengembalikan darah ke wajahnya dan berusaha untuk tetap tersenyum meskipun hasilnya terlihat aneh. "Apaan sih, Ryoko? Enggak lucu tahu."
"Memang enggak lucu." Ekspresi Ryoko yang tetap serius membuat jantung Kai lebih cepat berdetak, "Aku bertanya seperti itu karena aku menyadari sesuatu yang ganjal."
"Apa...?" Tanpa disadari, suara Kai memelan dengan sendirinya. Sementara itu, sang tiga kawan; Harry, Roni, dan Julia berjalan mundur setelah menyadari mereka kehilangan dua temannya dibelakang.
"Kalian kenapa?" ujar Roni, namun tak digubris oleh Ryoko karena gadis itu tetap melanjutkan asumsinya.
"Kamu mempunyai beberapa luka tak wajar. Orang jatuh sekalipun tidak mungkin mempunyai sekitar tiga memar di satu lengan. Terus menurut pernyataan temanmu, kamu memang sering muncul dengan banyak luka. Aku juga perhatikan sikapmu agak tertutup dan was-was kalau sudah menyangkut soal kehidupanmu sendiri. Kau juga terpancing dengan karanganku dimana aku menunjuk ada luka dibelakang lehermu. Aku yakin kau sedang panik pada saat itu."
Roni menoleh ke arah Kai dengan wajah benar-benar bingung. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Kai tertawa, menyembunyikan kepaniknya. "Kau terlalu banyak menonton film. Kita bahkan cuma bertemu beberapa hari." Kai yakin ia sudah menyembunyikan faktanya sedemikian rupa, bahkan sampai kedalam sikap. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di mata orang-orang, apalagi sampai menimbulkan kecurigaan. Tapi Ryoko malah menjadi orang pertama yang mendobrak dinding kasatmata itu. Padahal mereka baru saja mengenal satu sama lain.
"Kalau begitu buka bajumu."
Mendengar itu Kai tersedak ludah. "Apa?"
"Ryoko, kamu ngapain?" sela Julia.
"Ceritakan juga keluargamu. Aku ingin tahu semua tentangmu." lanjut Ryoko dengan tegas. "Ayo."
Menyadari dirinya sudah terpojok, ketakutan Kai mulai menyeruak tanpa diminta. Ketakutan yang selama ini ia sembunyikan dengan baik didepan teman-temannya. Ketakutan yang berusaha untuk disingkirkan agar ia sendiri tidak dikuasainnya. Melihat badan Kai gemeteran, ketiga orang yang tak menangkap arah pembicaraan mulai khawatir.
"Kai, kamu baik-baik saja, kan?" Roni dengan pelan menyentuh pundak Kai untuk menenangkannya.
"Ryoko, kamu sedang ngomong apa? Kenapa dia jadi begitu?" desak Harry.
"Kai, kamu tahu kan kamu bisa cerita kalau ada masalah? Bukankah kita sudah menjadi teman?" Ryoko memasang wajah memelasnya.
"Tidak, tidak ada yang bisa kuceritakan." Kai tetap kukuh. Ia tetap ingin mengunci erat rahasianya. Tapi Ryoko tahu Kai hanya menjaga dinding kasatmata itu. Kali ini ia dibantu oleh tiga orang.
"Kai, kita sering curhat ke kamu, tapi kenapa kamu enggak mau?" Roni ikut membantu, meskipun ia tetap tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. "Walaupun kami memang enggak bisa bantu, tapi setidaknya kami berniat ingin meringankan penderitaan itu sedikit saja."
"Iya, Kai." Harry menimpal, "Kita baru temenan lebih dari setahun, tapi aku sudah menganggapmu dekat."
"Aku memang tidak akrab, tapi aku juga ingin membantu apapun masalah yang sedang kamu hadapi." Julia mengakhiri.
"Kai..." Ryoko menatap Kai dengan lekat, memohon lewat kedua matanya. Sejenak Kai menjadi luluh. Ia menghembuskan nafasnya dengan amat berat. Bibirnya bergemeteran hebat. Jantungnya tak ingin melambat.
"Kenapa kamu melakukan ini?" bisiknya, tapi Ryoko mendengarnya dengan jelas. Ia tersenyum lembut.
"Karena aku ingin membantu orang-orang sepertimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
General FictionDelapan belas tahun Kai mengalami kekerasan dalam rumah. Ayah memukulinya tanpa alasan. Ibu tiri menghindarinya seakan ia monster. Hanya dua belas tahun Yoko, sang adik tiri yang peduli dengannya. Namun semua itu berubah setelah gadis dari keluarga...