"Ryoko kenapa mau pindah kesini?"
Ryoko tertawa lembut. "Soalnya lebih dekat dari rumah baruku."
"Eh, baru pindahan, ya?"
Ia menggangguk. "Iya. Rumah baruku tak jauh dari sini. Tapi maaf ya, rumahnya masih berantakan jadi aku tidak bisa mengundang kalian semua main ke sana."
Kai memandang sekelompok teman sekelasnya yang sekarang mengerumuni bangku Ryoko.
"Ryoko enggak apa-apa masuk ke sekolah kayak ini? Kelas kami saja bahkan masih pakai kipas angin."
Ryoko menggeleng. "Enggak apa-apa, kok. Aku juga masuk sekolah publik juga pas SD."
Suara pujian 'wah!' dan 'keren' mulai berdatangan dari rombongan itu. Kai hanya menghela nafas.
"Kukira orangnya bakal sombong gitu." Roni menyeruput kotak jus jeruknya. "Ternyata lebih ramah dari yang kukira."
"Aku jadi penasaran dimana rumah baru dia." Harry yang baru keluar dari kerumunan itu berjalan ke bangku Kai dan Roni. "Sampai-sampai dia rela sekolah disini."
"Pasti dekat sini." tebak Roni dengan girang. "Jangan-jangan, kita bertetanggaan ternyata!"
"Sembarangan saja!" omel Harry. "Komplekmu saja tidak ada rumah besar satu pun."
"Kalau begitu..." Roni memutar otaknya. "Mungkinkah dia berada didalam komplek mewah sekitar sini?"
Harry mengerutkan keningnya. "Seingat aku, tidak ada komplek mewah disekitar sini. Yang ada malah villa didekat danau, sepuluh menit jaraknya dari sini dengan mobil. Villa itu pun hanya dimiliki oleh keluarga Suranto."
"Bukankah mereka hanya memiliki sebagian lahan? Lagipula itu bukan villa tapi sebuah rumah."
"Apa beda nya rumah dan villa?"
"Jelas berbeda lah!"
Kai hanya mendengarkan percakapan mereka dengan saksama. Ia tidak ingin ikut terlibat dalam topik alamat rumahnya. Bisa-bisa mereka berdua tahu kalau Kai selama ini tinggal di lahan termahal di wilayah ini. Wilayah dekat dengan danau. Luas danau itu cukup besar sehingga bisa dibagi dua. Setengah lahan sekitar danau dialihkan sebagai tempat pariwisata, sebagian di beli oleh keluarga Suranto. Sebagian masih jadi sengketa karena masih belum ada pemilik. Sebagian lahan itu mestinya punya sebuah perusahaan besar, namun setelah pemiliknya meninggal, beberapa anak perusahaan pecah dan saling memperebutkan sebidang tanah itu.
Kebetulan tanah itu berada disamping rumah Kai.
"Kira-kira berapa besar rumahnya, ya?" lamun Harry.
"Keluarga Suranto saja rumahnya begitu besar!" celetuk Roni. "Sudah seperti villa-villa besar di film! Didekat danau lagi!"
"Aku juga ingin punya rumah seperti itu." andai Harry sambil menyandarkan kepalanya di atas meja. Roni juga ikut bersandar di atas meja. Hanya Kai sendiri yang duduk diam pada bangkunya.
"Kai, kok kamu diam saja?" tanya Roni dengan heran. Kepalanya masih menempel pada meja.
"Aku tidak tertarik." ucap Kai.
"Kamu tidak tertarik membicarakan rumah orang super kaya?"
Kai menggeleng. "Jus mu sudah selesai belum, Ron? Mau aku buangin?" tawarnya.
Roni mengangkat kepalanya. Dengan senang hati ia memberikan kotak jus jeruknya yang kosong. "Terima kasih banyak, Kai!"
Kai berdiri dan bergegas ke kotak sampah diluar kelas. Siapapun yang memberi ide untuk menaruh kotak sampah diluar adalah orang yang jarang membuang sampah. Sungguh repot sekali hanya untuk membersihkan lingkungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
General FictionDelapan belas tahun Kai mengalami kekerasan dalam rumah. Ayah memukulinya tanpa alasan. Ibu tiri menghindarinya seakan ia monster. Hanya dua belas tahun Yoko, sang adik tiri yang peduli dengannya. Namun semua itu berubah setelah gadis dari keluarga...