Ketika Kai membuka pintu depan rumah, ia mendapati sudah ada dua sepatu berjajaran di rak. Kai melangkah kedalam rumah dengan pelan. Benar saja, ayah dan ibu-nya sudah menunggu di depan perapian. Dua cangkir teh disediakan di atas meja kecil disamping sofa.
"Tadi kamu bersama dengan anak keluarga Hatowarti?"
Kai yang sudah siap untuk kabur ke lantai dua, mau tak mau berdiri berhadapan dengan ayah untuk menjawab pertanyaannya. Kedua matanya terarah ke bawah. "Benar."
"Hah!" Ayah mendengus. "Ternyata Hatowarti sialan itu beneran pindah ke sini. Kalau saja bukan karena perjanjian di pengadilan, aku pasti sudah mengusirnya."
"Mereka hanya membangun villa, tidak tinggal disana." Ibu mengangkat cangkir teh kecilnya dan menghirup aroma bunga Lotus dari teh itu. "Lagipula, aku mendengar hanya anaknya yang akan tinggal disana untuk sementara, jadi kau tak perlu khawatir untuk bertemu dengan Hatowarti."
"Aku tidak khawatir!" sergah ayah. "Untung saja ada hutan di samping rumah. Aku tak perlu melihat wajah anaknya selama ia tinggal disana." Pandangan ayah akhirnya jatuh kepada Kai yang selama ini hanya bisa berdiri dengan tak nyaman. "Kau, bagaimana ceritanya kau bisa bersama nya?"
"Ia anak baru di sekolahku." Kai tak berani memandang ayah. Ia berharap Ryoko dijauhkan dari masalahnya dengan keluarga.
"Ada-ada saja. Bagaimana mungkin ia akan bertahan di sekolah publik?" Ibu menggelengkan kepalanya.
"Kau tak tahu malu juga ya mau berteman dengannya." Ayah mendecak lidahnya. "Tapi biarlah. Urusanmu berteman dengan siapa bukanlah urusanku. Biar saja anak Hatowarti itu berteman dengan anak pelacur."
Mendengar 'sindirian' Ayah, Ibu tertawa kecil. Kai hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia sudah tahan mendengar Ayah terus-menerus merendahkan derajatnya.
"Kenapa kau masih disini? Cepat sana pergi!"
Kai mengangguk dan segera berbalik badan, berjalan ke arah kamarnya. Ketika berpapasan dengan Yoko di tangga, ia tersenyum lebar kepadanya. Yoko membalasnya dengan senyum manisnya sebelum berlari menuruni tangga dengan sebuah boneka di tangannya.
"Mama!"
"Aduh, Yoko, sayang." Samar-samar, Kai mendengar suara lembut keluar dari mulut Ibu. "Gemesnya anak Mama."
Kai mempercepat langkahnya agar ia tak lagi mendengar percakapan hangat dari keluarga itu. Bisa-bisa ia tidak tahan untuk menangis.
Sesampai didalam kamar, Kai mengeluarkan buku catatan yang diberikan Yoko itu. Ia mulai mengambil pena dan menulis.
Sejujurnya, aku ingin merasakan kehangatan dari sebuah ibu dan ayah. Namun, aku tahu hal itu tak akan pernah terjadi. Aku hanyalah anak haram, yang tak harusnya dilahirkan didunia ini. Aku hanya bisa berharap, hari-hari selanjutnya menjadi lebih baik.
Kai menghembuskan nafasnya. Kadang kala menulis bisa memperbaiki mood-nya. Ia menutup buku tulisnya dan menaiki ranjang, bersiap untuk tidur meskipun matahari masih belum terbenam sepenuhnya.
***
"Halo, Kai."
Kai terkejut melihat Ryoko sudah menunggu kehadirannya didepan kelas. Ia mengangguk kikuk, apalagi ketika seluruh mata mulai terpusat kepadanya.
"Gimana kabarmu? Apa memarmu sudah sembuh?" Aduh, kenapa Ryoko malah membuka topik itu diantara semua topik yang ada? Kai hanya bisa mengangguk. Ia memutuskan untuk berjalan melewati Ryoko dan menuju ke bangkunya. Tapi, Ryoko tetap gencar mendekatinya.
"Hm? Kenapa ada memar lagi dibelakang lehermu?"
Refleks, Kai langsung menutup leher bagian belakangnya. Ia menoleh ke Ryoko dengan ekspresi terkejut. Bagaimana mungkin Ryoko bisa dengan cepat menangkap lukanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
General FictionDelapan belas tahun Kai mengalami kekerasan dalam rumah. Ayah memukulinya tanpa alasan. Ibu tiri menghindarinya seakan ia monster. Hanya dua belas tahun Yoko, sang adik tiri yang peduli dengannya. Namun semua itu berubah setelah gadis dari keluarga...