Chael Pergi

50 7 1
                                    


Setelah menikmati libur singkat dihari minggu, kini Luna harus kembali ke sekolah. Dengan sepatu converse berwarna hitam putih, kini langkah kaki Luna sudah berpijak di koridor sekolah. Luna salah satu murid yang selalu datang terlalu pagi ke sekolah. Banyak diantara teman Luna yang mengatakan bahwa Luna mempunyai kepribadian yang aneh. Luna tahu akan hal itu, namun ia tak pernah perduli dengan ucapan teman-temannya. Kadang Luna menertawakan dirinya sendiri, mengapa ia bisa sangat tidak perduli pada mereka yang selalu menilainya aneh.

Jam pun berlalu, sesaat lagi bel masuk akan berbunyi. Michael belum datang, Luna yang cuek sebenarnya menantikan kedatangan sahabatnya itu. Namun dia berusaha untuk tetap bersikap tidak perduli dan tidak mau tahu.

Kring...! Kring...!

Bel pertama pun berbunyi, tak lama kemudian pelajaran pertama dimulai, namun masih belum ada kabar dari Michael. Luna pun gelisah, selama bersama dengan Michael yang Luna tahu jika Michael tak masuk sekolah, itu berarti ada hal yang benar-benar penting atau ia sakit tidak bisa bangun.

"Michael kemana?" bu Nia menyadari bahwa muridnya ada yang tidak hadir.

"Gatau bu, tanya aja sama sebangkunya!" salah satu teman sekelas Luna mengeluarkan suara, sontak membuat Luna melempar pandang menuju pandangan bu Nia.

"Saya tidak tahu bu.."

"Gimana sih lo? Temen sendiri gak tau kemana, temennya bukan?" mendengar ucapan temannya itu kelas pun jadi tidak kondusif. Tapi Luna tetap mengontrol dirinya agar terlihat tenang.

"Cukup! Mari kita lanjut belajar"

Keadaan kelas yang tadinya tidak kondusif kini kembali kondusif. Mereka kembali melakukan kegiatan belajar. Namun, pikiran Luna kini buyar kemana-mana, perkataan temannya membuat ia tak bersemangat untuk belajar. Ia melirik ponselnya yang terletak di atas meja, masih belum ada juga kabar dari Michael.

"Tumben banget el, lo dimana?" gumam Luna dalam hati.

***

Setelah jam pelajaran berakhir, di perjalanan menuju rumah, Luna meraih ponselnya, berniat untuk menelfon Michael. Namun niatnya dia urungkan kembali, ia memiliki rencana lain yaitu langsung menuju rumah sahabatnya itu.

Dalam perjalanan menuju rumah Michael, Luna sempat mampir ke warung soto. Michael sangat menyukai soto, Luna tahu karena Michael sendiri yang mengatakannya. Luna berharap bahwa Michael tidak sedang sakit, dia tidak mau hal itu terjadi.

Setiba di depan gerbang rumah Michael, ia tak sengaja melihat seorang gadis berada di halaman rumah Michael, sangat cantik. Tak lama kemudian Michael datang dari dalam garasi dengan menggunakan motornya. Perempuan itu naik dan langsung memeluk Michael. Tampak dari kejauhan mereka sangat akrab dan bahagia, jantung Luna berdetak lebih cepat dari biasanya. Jemari tangannya bergetar. Sebelum Michael melihatnya, ia cepat-cepat bersembunyi di balik tanaman. Setelah lewat, Luna melihat sepasang manusia pergi menjauh dari kediamannya. Air matanya ingin sekali jatuh, namun Luna bersidekap untuk menahannya.

"Non Luna! Ngapain disini?" teguran dari pak Manto, satpam rumah Michael, membuat Luna sadar dari pandangannya yang menatap sisa jejak kedua orang itu, ia pun dengan cepat merubah raut wajahnya.

"Chael ada pak?"

"Baru aja pergi non, ada apa ya?"

"Ah tidak pak, dia tidak masuk sekolah hari ini, saya pikir sakit"

"Mas Chael sehat kok non, ada yang mau di titipin? Nanti saya sampaikan"

"Tidak pak, saya minta tolong bapak jangan memberitahu Chael kalo saya datang ya pak?"

"Loh kenapa non?"

"Tidak apa-apa pak, bisa?"

"Engg okedeh non, tidak saya beritahu"

"Trimakasih, saya pulang dulu pak, mari.."

"Hati-hati ya non"

Ucapan terakhir dari Pak Manto hanya dibalas dengan senyuman oleh Luna. Luna melihat soto yang masih panas di genggaman tangannya, ia berusaha untuk tidak berfikir yang aneh-aneh disepanjang jalannya menuju rumah. Namun tetap saja, ada yang tergores dibagian hatinya melihat Michael bersama dengan perempuan cantik itu.

"Chael gak pernah cerita ke gua dia itu siapa? Gua pikir, gua tau segalanya tentang dia. Ternyata, gua gak tau apa-apa" Luna berbicara sendiri pada dirinya. Rasa sesak itu belum juga hilang, tetapi ia berhasil menahan air matanya agar tidak mengalir.

Setibanya di rumah, ia langsung mengganti pakaiannya kemudian membantu ibu menyiapkan masakan untuk makan malam. Kali ini ia memilih untuk tidak memikirkan Michael dulu, banyak hal penting yang harus ia kerjakan. Ibu Luna sangat pandai memasak. Dulu ibunya membuka usaha warteg, namun usaha itu tidak berjalan mulus. Ada orang jahat yang tega menuduh ibunya menjual makanan haram. Alhasil, mereka harus menutup usaha tersebut dengan perasaan sakit. Ibunya tidak memikirkan kerugian, ia hanya berpikir mengapa ada orang yang setega itu melakukan penuduhan yang tanpa bukti terhadap keluarga dan usahanya. Untung saja ibu Luna sangat berbaik hati dan tidak mudah untuk putus asa. Ia masih bisa memasak untuk keluarganya sendiri, hal itu sudah cukup baginya untuk merasakan bahagia.





Sekian dulu chapter tiganya, semoga berkesan. Jangan lupa v/comment ya💙

SincereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang