Dua.

25.5K 120 0
                                    


"Ah! Iyak! Bagus! Engh!"

Rintihannya gampang sekali membuat orang salah kaprah, apalagi ketika hanya kami berdua saja yang tinggal di gym ini. "Nah, gitu bagus! Tendang lagi! Iyak!" seperti lanjutannya ini misalnya.

Seharusnya aku tahu benar kalau ini yang dimaksudnya dengan melepas lelah... dengan menambah lelah. Berlatih Muay Thai di gym langganannya yang terletak di lantai lima hotel dekat apartemennya. Tidak terlihat satupun bongkahan roti sobek di perutnya, namun kuat sekali ia menangkis tendangan-tendanganku dengan tameng targetnya.

"Tinggian lagi, dong! Aku aja bisa!"

Diangkatnya tameng itu tinggi-tinggi, sampai menutupi wajahnya. Lagi, tubuhnya yang berbalut keringat membuat tatapanku tidak fokus sama sekali dengan tameng itu. Aksen pinggulnya yang tebal dikepit oleh tepian celana senam pendek, dan semakin mata melihat ke atas semakin tampak Sports Bra yang ketat membalut dada besarnya.

"Ayo, ditendang."

Duh, nggak fokus.

"Eh, kena tepi tahu! Coba lagi!"

Aku melompat menyeruduk dengan lututku. Nggak sampai.

"Ya elah, sok pakai lutut! Nggak sampai, kali!" Ia tertawa sembari mengintip dari samping kiri tameng. Memang maksudku bukan kena namun paling tidak selang beberapa detik ia tak sadar aku hanya ingin melihat lebih dekat, ha!

Tapi harapan itu pupus ketika tak sampai tiga serangan lutut, aku sudah rebah di lantai, kepayahan bahkan untuk menarik nafas dalam-dalam."Yah, payah. Lutut aja bisa nggak sampai. Ketahuan banget kamu jarang olahraga," sindirnya.

"Bodo amat, yang penting aku nemenin kan?" balasku.

"I-iya sih. Hari ini biasanya memang gersang banget.." volume omelannya semakin lama semakin turun, hingga gerutuannya berhenti pada tameng matras yang menabrak mukaku, "Iih! Udah untung digratisin pake hari ini!"

"Adududuh, aku juga udah keburu capek, tahu," kudorong perlahan tamengnya, dan bangkit duduk sebelum wajah perempuan berambut pendek elok ini bertambah dekat. Akhirnya ia pun ikut duduk bersila, melepaskan tameng itu juga sarung tangannya.

"Ah, capek banget. Mana itu tameng kayanya tambah berat, lagi," dibandingkan dengan mengangkat pasangan balon itu, beratan mana coba? Bentuknya yang bulat kencang jauh lebih jelas saat ini meski setiap hari dengan seragam kantor saja sudah menyegarkan mata. Apalagi ketika tahu-tahu ia menjorok mundur bertopangkan kedua tangannya yang bersandar di belakang lekuk badan sintalnya.

Alunan piano di speaker gym pun tiba-tiba mati sendiri. Oh, ponselnya habis baterai rupanya. "Udah jam sepuluh, nih. Mau udahan?" ujarku sambil menunjuk ke jam dinding.

Tahu-tahu ia merangkak maju. Sambil merapikan rambutnya yang belah samping, ia semakin mendekat.

Tentu saja aku hanya mundur, dan menatapnya bingung. Namun mendadak aku langsung sadar dari mimik wajahnya yang semakin dekat.

Matanya tajam menatap mataku, namun senyum nakal itu tak kunjung hilang dari wajahnya. Dari matanya yang hitam berkilap cahaya lampu, mataku menangkap keringatnya yang mengalir turun perlahan dari pelipis hingga jatuh ke lantai, dan tatapanku turun hingga keringat di selangkanya yang mengalir menyelip di antara belahan dadanya yang mengundang nafsu.

Seperti kebiasaannya, ia hanya melewati wajahku dan mulai berbisik. Nafasnya hangat menggelitik daun telingaku ketika ia mulai berkata,

"Shower dulu yuk. Nggak ada yang jaga."

Oh, pantas.

(PG-15) Malam Jumat di Kantor (First Season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang