Sembilan

7.1K 31 3
                                    


Matanya menyapu berbagai macam potongan daging sapi. Has, rendang, iga, semua menggoda tangannya untuk menyambar barang satu. Sempat wanita itu melirik mereka lagi dengan tatapan pengin, namun daging itu tak kunjung beranjak dari etalase menuju kereta belanjanya.


"Udah ketemu belom? Sekarang sudah jam 6, lho," aku menghampirinya dengan dua bungkus keripik kentang, yang tentunya lebih baik dimakan waktu nonton nanti.

"Ya belum. Itu harganya nggak ada yang manusiawi, tahu," ujarnya ketus. Pasar di dekat sini tidak ada yang buka malam, sih.

"Duh, laper nih. Cepetan dong," perutku menggeram kencang, melilit marah sedari siang.

"Ya salah sendiri pagi-pagi masih ngajak, padahal mau dimasakin sarapan."

"Padahal sambil masak juga bis-"

"Ngimpi. Bahaya, goblok," desisnya.

"Iya, deh."

Aku dibungkam dengan sukses. Kedua cemilan itu masuk ke keranjang dan langkahku berhenti di lemari minuman. Tiba-tiba jadi kepikiran, "eh, tahu nggak?"

"Apaan?"

"Sarsaparilla dan root beer beda, lho."

"Lho, masa?" wanita itu memicingkan matanya curiga.

"Beneran."

"Biasanya juga Pak Hendro kalo mesen A.W. di telepon ngomongnya pake Sarsi."

Malah aku yang jadinya gantian bingung, "Lho, masa?"

"Masa nggak kedengeran? Mejanya Pak Hendro kan deketan sama kamu, ih,"

"Ampun," berita baru ini. Kasihan Pak Hendro kalau tidak ada yang mengingatkan. Tapi yang penting dua kaleng Sarsi sudah menjadi teman sepasang Chitato di keranjang.

Belum sempat aku mengemukakan fakta Sarsaparila keduaku, ia yang mendorong kereta belanja di depanku tiba-tiba berhenti. Beruntung bokong kencangnya meredam tabrakanku dari belakang.

Aku melihat arah tatapannya. Tujuh puluh persen. Kumpulan kaleng yang disusun rapi di lemari pendingin memang selalu mencurigakan, dan sorot matanya seolah setuju denganku. "Eh, seneng kornet nggak?" aku salah ternyata.

"Ya, lihat dulu dong," sengaja pertanyaanku terucap ambigu supaya ia berpikir dua kali sebelum membeli. Tapi air mukanya tampak tidak menyerah sama sekali.

"Ya, mereknya impor sih, juga harganya nggak sampai tiga puluhan," tangannya meraih kaleng berlabel setengah mandarin, setengah inggris itu. Ah, tentu saja ia bukan tipe orang seperti itu. Tidak mungkin.

"Ya cek dulu tanggalnya. Udah kadaluwarsa belum?"
"Ya belum, lah. Takut amat entar makan malem jadi racun."

"Bentar, coba aku yang lihat."

"Nih."

Seketika ia menyodorkan kaleng aluminium dingin itu ke tanganku, aku sudah merasakan umurnya di supermarket ini hanya dengan rasa dinginnya yang seperti memegang langsung es batu.

"Tuh, nggak kan?"

Agustus. Bulan ini Juli.

"...nggak deh, jangan."

"Diskon banget lho."

"Nggak, kornet lokal lebih sehat," aku sama sekali tidak mau menghabiskan malam kami hanya dengan perut mulas sebelum siap menyentuh ranjang.

"Hih, terserah," dengusnya sambil melangkah menuju etalase yang lebih aman dan bersuhu ruangan sebelum mengantri ke kasir. Sekaleng Pronas kini melengkapi isi troli belanja kami. "Eh, sini," panggilnya.

"Kenapa?"

"Nitip bayar dong, aku pengen ke toilet dulu," Ia menyodorkan selembar Soekarno-Hatta sebelum kami bertukar jaga di antrian yang panjang itu. Aku melihat ke antrian-antrian kasir di sebelahku, dan ternyata tak jauh beda panjangnya.

Tahu-tahu di tengah ia melewati jalur tanpa belanjaan itu ia berbalik dan mendatangi antrianku. Di belakangku masih belum ada orang yang mengantri, dan ia pun mendekat berdempetan ke punggungku.

"Lho, ada yang ketinggal-" mendadak ia diam-diam memandu tangan kiriku menyisiri pinggulnya, menyembunyikan telapak tanganku yang berhenti di sebuah kotak di antara rak kasir kecil di samping kami.

"Yang ultra thin. Jangan lupa," pintanya dengan suara berbisik.

(PG-15) Malam Jumat di Kantor (First Season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang