SYAFA POV
Pagi seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku, mas Iqbal pagi ini ada perjalanan bisnis ke Aceh sudah ku siapkan segala keperluannya selama diluar kota dalam sebuah koper yang ada di samping meja makan,aah aku memang selalu menyiapkan segalanya sendiri, bagiku mengurusi suami dan anak adalah kebahagian tersendiri sensasi yang tak kudapat selama bekerja sebagai sekretaris pad sebuah perusahaan asuransi kala itu.
“sayang bundaaaaa, ayooo kita makan”
Panggilku pada lelaki tampan nan santun serta putri kecilku Lembayung. Mereka cepat menghampiriku yang sudah tersenyum lebar dimeja makan dengan bangga mempersembahkan sarapan pagi. Mas Iqbal selalu memesan nasi goreng tanpa kecap dan Lembayung selalu setia dengan nasi goreng kecapnya dan aku sendiri tak pernah bosan dengan nasi goreng pedas.
“bunda, hari ini ayah berangkat ya kebandara tapi ga usah diantar, nanti ayah naik taxi aja. Bunda baik-baik ya sama Ayung (sapaan Lembayung) nanti ayah bawain kalian oleh-oleh. Ayo anak ayah mau apa?’’
Tanya mas Iqbal sembari mengelus ujumh kepala Ayung yang duduk disampingnya.
“mmmm apa ya ayah...? terserah ayah. Tapi aku lebih suka kalo ayah pulang dengan sehat. Nanti kalo ayah pulang kita jalan-jalan ke dufan ya ayah”
Rengek Ayung pada mas Iqbal, aku dan mas Iqbal tersenyum mendengar perkataan putri kami.
“ siap Bos’’ jawab mas Iqbal sembari memberikan gerakan hormat pada Ayung.
“iya ayah, kita lebih senang kalo ayah cepet pulang dan sehat walafiat”
Jawabku sembari tersenyum pada Mas iqbal.
Selesai sarapan mas Iqbal segera beragakat menuju bandara dan aku pergi mengantar Ayung sekolah, putriku baru berusia 6 tahun dia masih TK B tahun ini.
ZAKIE POV
Meeting dengan para kontraktor pembangunan apartement di daerah Jakarta timur cukup menyita waktu dan melelahkan hari ini, ‘’aaah andai saja masih ada Amara” pikiran ku melayang ke peristiwa tiga tahun lalu saat aku harus melewati hari terberat dalam hidup
2013
Aku tergesa-gesa keluar dari kantor dan langsung menuju mobil, secepat kilat aku menyetir menembus jalanan ibukota siang itu. Kalut sudah tak dapat ku ibaratakan, mendapat kabar bahwa amara jatuh dari tangga rumah kami membuatku bagai orang keseetanan meski sesekali aku terus meracau dan menyebut nama Allah “ Ya rabb, ujian apa ini. Selamatkan istri dan calon anak kami ya rabb, maha pemberi keselamatan dan pemilik segalanya” doaku tak putus ku utarakan sembari terus menyetir mobil . Bi inah menelpon kalau Amara terjatuh di tangga rumah dan mengalami pendarahan, istriku sedang hamil 7 bulan, dia langsung dilarikan kerumah sakit oleh para tetangga setelah bi inah meminta tolong.aku dikabari jika Amara mengalami pendarahan hebat.
Setiba di rumah sakit aku langsung berkalari ke unit gawat darurat dan tak menemukan Amara disana, ternyata istriku harus mejalani operasi darurat karena pedarahannya. Ya allah lesu sudah kaki ku saat tiba di depan ruang operasi melihat bi inah dan bu Yuni tetangga ku yang sedang menangis. Ya Allah suami macam apa hambamu ini, tak dapat menjaga istrinya.
“den” suara parau bi inah saat melihatku dan terbangun dari duduknya. “sabar ya den” ucapnya kembali.
“ tabah ya nak Zakie,serahkan semuanya pada dokter dan kita doakan semuanya baik-baik saja” bu Yuni ikut menguatkan.
Aku lunglai seketika, “Amara kuatlah sayang,mas ada disini”. Gumamku. Semoga amara tahu dan tetap kuat, semoga amara merasakan kehadiranku.
10 menit kemudian ruang operasi terbuka. Aku berlari menghampiri dokter.
“kelurga pasien’’
“iya dok, saya suaminya”
Maaf pak, kami sudah berusaha semampu kami tapi Tuhan punya rencana lain ?’’ jelas dokter.
“Maksudnya dokter?” wajahku sudah pucat
“anak dan istri bapak tidak bisa kami selamatkan”
Ya Allah bagai disambar petir saat aku mendengar perkataan itu, Ya Rabbi kenapa engkau ambil Amara secepat ini.
Aku tersungkur, dokter mencoba menopangku.
‘’ikhlaskan pa, Allah lebih menyanyagi istri dan calon anak anda’’.
Kepergian Amara merupakan pukulan hebat untuk kehidupanku hampir 2 bulan aku bagai orang linglung, mencoba setegar apapun tak dapat aku sembunyikan bahwa aku amat terluka dengan semua ini. Sampai 6 bulan setelah kepergiannya aku memutuskan untuk menjual rumahku dan dengan berat hati memberhentikan bi inah, kemudian aku pindah ke sebuah apartement dibilangan jakarta selatan.
Kumandang sura Adzan Magrib membuyarkan lamunanku, aku segera bangkit dari sofa ruang tamu dan menuju kamar untuk membersihkan diri. Amara, kamu istri yang tak akan bisa mas lupakan.