[2/5]

275 27 9
                                    

Gemuruh petir semakin bersambutan. Hembusan angin terdengar seakan membisikkan sesuatu sampai-sampai rintik hujan mulai berjatuhan. Fokusku sedikit teralihkan dengan rintik hujan yang mulai berjatuhan dan disaat itulah ada seseorang menarikku, mengajakku untuk ikut berlari bersamanya.

Masih dalam kondisi keheranan dan kecemasan, sejenak aku mengusap wajahku yang terkena rintik hujan dengan tanganku yang satunya. Awalnya aku mengira hanya rintik hujan yang membasahi wajah dan bajuku, tapi ada percikan noda merah juga. Aku yakin sekali noda itu adalah darah dan darah itu dari tangan yang menarikku dengan lariannya yang kencang. Ini perempuan itu, dia Arta!

"Kau tau, aku baru kali ini bertemu penguntit yang lengah. Kau berutang budi kepadaku karena kalau aku tidak mengetahui keberadaanmu kau akan habis ditangan mereka sebagai umpan untukku!"

Aku bungkam. Bukannya tidak berani berkata tapi aku terlalu fokus ke goresan di tangannya. Goresan itu mengeluarkan darah yang begitu banyak. Apa dia sama sekali tidak merasakan kesakitan? Dia begitu kuat menyembunyikan rasa sakit itu.

"Kau tidak akan bisa lolos, Arta!"

Fokusku kembali teralih. Aku menoleh ke belakang dan jantungku langsung berdebar dengan hebatnya karena jarak kami dengan mereka lumayan dekat. Aku kembali melihat ke depan. Kali ini aku yang memimpin lari. Aku tau seluk-beluk jalan di sini karena area ini dekat rumahku.

"Kita mau ke mana?" tanya perempuan itu.

"Kau ingin bersembunyi bukan? Aku tau tempatnya," jawabku.

Hampir dekat! Aku berniat mengajaknya untuk bersembunyi di rumah yang bangunannya baru setengah jadi. Bukan rumah ini incaranku, tapi sela belakang rumah ini yang kuincar karena belakang rumah ini hanya ada pagar dari daun yang lumayan tinggi dan celah belakang rumah ini dengan pagar daun itu sangat kecil. Dan untung saja badan kami muat.

Begitu sudah bersembunyi kini kami berusaha mengatur napas masing-masing agar tidak menimbulkan suara hembusan. Dalam hati aku berkali-kali merapalkan doa agar preman itu tidak menemui kami. Dan doa itu semakin cepat begitu aku mendengar langkah kaki yang aku tebak adalah mereka berhenti.

"Mereka lari ke mana?"

"Aku tidak tau! Kita kehilangan jejaknya lagi, fuck!"

"Siapa laki-laki yang dibawanya tadi? Kenapa laki-laki itu tiba-tiba ada?!"

Aku melirik Arta begitu salah satu preman itu berbicara mengenai diriku. Mataku melototinya dan dia membalas pelototan itu. Dasar.

"Lebih baik kita terus lari, jangan sampai jejak kita semakin jauh dari mereka!"

Dan tak lama dari itu langkah kaki berlari kembali terdengar. Tanpa sadar napas yang sedaritadi kutahan terlepas begitu saja saat langkah itu sudah menjauh.

"Siapa kau?"

Aku menoleh. Melihat perempuan yang kutemui hanya penasaran itu dengan pandangan heran juga.

"Aku Swega," jawabku. "Dan siapa kau?"

"Itu tidak penting," jawabnya lalu dia keluar dari persembunyian ini. Dia yang sudah terbebas melihat ke arahku dan memutar bola matanya. "Udah aman."

Barulah aku keluar dari persembunyian. Kami saling mengamati penampilan antar satu sama lain dan entah kenapa tapi begitu dia melihat wajahku dia tertawa.

"Kenapa?" tanyaku seraya meraba wajahku jika saja ada yang aneh.

Dia melihat besetan pisau di tangannya. Raut wajahnya berubah menjadi ekspresi yang tidak bisa kuartikan.

Dia kembali melihat ke arahku, dia tersenyum. "Wajahmu kena percikan darah di tanganku."

Aku mengangguk paham. "Ya, tadi saat berlari darahmu ikut berlari ke wajah dan seragamku."

Dia tertawa dan selanjutnya hening. Aku mengingat jika aku menyimpan dasi sekolah di tasku, lantas aku mengambil dasi itu dan mulai memakaikan dasi itu ke lukanya.

"Mau kau apa 'kan tanganku?"

Aku melihatnya sejenak sebelum kembali fokus ke lukanya. "Perban. Aku tidak ada kain perban, tisu, atau semacamnya, aku hanya punya dasi."

"Aku tidak butuh. Ini tidak sakit."

Aku tergelak mendengar. "Kau tidak pandai berbohong. Mana mungkin besetan dari pisau tidak sakit, sedangkan besetan dari penggaris besi saja sudah begitu sakit."

Matanya memutar melas. "Ya, ya, terserah katamu. Kau bisa mengatakan itu karena kau tidak tau setengah kelebihan dan setengah kekurangan yang aku miliki."

Perban ala kadar itu sudah selesai. Dia meneliti hasil perbanku dan tersenyum miring. "Not bad and thanks."

Aku mengangguk sebagai jawaban dan kembali menyerngit. "Setengah kelebihan dan setengah kekurangan?"

---

Terima kasih sudah membaca ❣
Semoga kalian suka 🙏
Kalo suka vomment ya 💛

Tidak Bisa Merasakan Sakit [5/5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang