[5/5]

180 25 7
                                    

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Aku akan mengulangnya. Kenapa kau terlihat begitu ahli dalam pengobatan?"

"Aku hanya sering melihat ibuku mengobati pasiennya di klinik kecil miliknya," jawabku. "Sudah selesai."

Dia mengamati hasil perbanku dan tersenyum. "Thanks, Swega."

"Swega ... ibumu fans Justin Bieber?" tanyanya ngawur. "Sweg, sweg, sweg, on you. Chillin by the fire while we eatin fondue~"

Aku tergelak. "Kau melawak?"

"Tidak. Itu kenyataan. Namamu mengingatkanku lagu itu."

"Swega.."

Aku hanya diam, menunggunya melanjutkan.

"Kau sudah tau penyakitku bukan?" tanyanya, kini dia kembali serius dan raut wajahnya kembali seperti di awal; bengis. "Apa aku bisa meminta bantumu lagi?"

"Apa?" tanyaku.

"Tolong urus kematianku--"

"Apa maksudmu? Kau gila?!"

"Aku muak dengan penyakit ini!"

"Kau muak, kau depresi, kau stress itu karena kau iri. Irimu begitu besar!" ucapku.

"Tapi bagaimana dengan tanganku ini?"

Aku tercengang melihat tangannya yang terbebas dari besetan. Memang tangan itu tidak ada besetan, tapi tangan itu sudah terdapat luka belahan yang begitu dalam yang tepat di mana nadi berada.

"Sedaritadi aku memegang silet dan aku menancapkan silet ini, aku tidak tau jika sudah sedalam ini silet ini menancap," katanya begitu tenang. Bahkan aku baru menyadarinya jika bibirnya sudah begitu pucat. Pucat bukan karena kedinginan di bawah guyuran hujan, tapi pucat karena begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya.

"Swega, terimakasih sudah menolongku, kadang aku merasa ingin menyerah dan sekarang aku benar-benar akan menyerah. Preman itu mengincarku setelah sungguh lalu membunuh kedua orangtuaku hanya karena uang mereka yang tertahan di kedua orangtuaku. Dan aku ingin menyusul mereka hari ini."

Bertepatan dengan selesainya berbicara Arta langsung tergeletak tidak sadarkan diri. Aku panik bukan main, aku memukul pipinya berkali-kali dengan terus memanggil namanya, mengecek denyut di lehernya dan denyutan itu begitu pelan. Dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku merogoh ponselku, tanganku gemetar seraya menelpon rumah sakit tempat ibuku dulu berkerja sebelum membuka klinik sendiri.

Setelah sudah menelpon ambulan, aku memakai tasku dan menggendong tubuhnya untuk segera turun dari rumah ini.

Dia tidak boleh meninggal seperti ini. Tidak boleh.

"Kau begitu bodoh Arta. Kau hanya kesepian dan syok karena kematian orangtuamu. Ini bukan sepenuhnya tentang penyakitmu."

Aku baru bertemu denganmu, tapi kau sudah memberiku kesan yang begitu melekat di pikiranku. Dan aku tidak ingin kesan itu hanya sebatas sampai hari ini saja, aku ingin kesan itu berterus sampai nanti kita menua bersama.

[]

Halo!

Terimakasih sudah membaca one shot ini 🙏

Semoga suka ya dan kalo kalian suka bisa kali vomment ❣

Dan jika kalian berkenan, ayo mampir di cerita wansutku yang lainnya yaa. Teenfiction juga adaa, monggo dicek itsamelsta

 Teenfiction juga adaa, monggo dicek itsamelsta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekali lagi terimakasih ✨🌟

Tidak Bisa Merasakan Sakit [5/5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang