Sebenarnya aku sudah ingin pergi ketika turun dari motor Rega. Tapi, tidak sopan rasanya pergi tanpa mengucapkan terima kasih pada Rega, juga bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan untuk aku hidup. Sejujurnya, aku itu takut naik motor, yang tadi itu super darurat.
"Nggg.. anu.. makasih," Ya, dengan sedikit keberanian akhirnya aku mengucapkannya, sambil menunduk, mencoba untuk tidak menatap sepasang mata cowok itu yang mengerikan.
"Lo lagi bilang makasih sama siapa, sih? Batu?"
Astaga, cowok ini kenapa sih?! Sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih sekali lagi sambil menatapnya sebentar lalu langsung lari. Tapi baru saja aku mengangkat kepala, sepasang mata itu langsung menyambar mataku dan bukan itu saja tapi wajahnya membuatku menjelma menjadi patung detik itu juga.
Suara bel yang sangat nyaring baru menyadarkanku kembali menjadi manusia. Isi kepalaku mendadak kosong.
"Anak baru?"
"Hah?" Kebiasaan yang akan membuatku terlihat bodoh sejagat raya yaitu mengatakan Hah? dengan mulut terbuka dan mata melebar, seperti saat ini. Astaga! Aku langsung gelagapan menyadari apa yang baru saja kulakukan. "Eh, iya! Lo bisa tolongin gue sekali lagi nggak?"
Aku tahu aku ini nggak tahu diri banget. Aku cuma lagi mencoba peruntunganku. Kalo dia jawab bisa, ya syukur alhamdulillah, kalo enggak ya tinggal balik badan terus lari.
"Apa? Udah bel."
Aku mengerjap, antara terkejut karena jawabannya sesingkat itu dan terkejut karena cowok itu mau menolongku, "Lo bisa kasih tau kantor guru ada dimana?"
Sumpah! Meskipun ngeri sama tatapan matanya tapi aku tidak bisa mengabaikan wajahnya yang punya nilai plus-plus itu. Ayolah, aku ini masih cewek tulen meskipun kepribadianku tidak mencerminkan seperti itu.
"Ikut gue."
Jawaban itu sontak membuat mataku melebar. Aku benar-benar sudah siap untuk balik badan dan lari. Tapi, sepertinya aku sedang beruntung sekali. Meskipun aku tahu cowok didepanku ini menolongku dengan setengah hati. Aku berani bertaruh setelah ini dia pasti tidak ingin melihat wajahku lagi.
•••