Prolog

343 28 10
                                    






     Udara sore di Bandung membuat gadis bertubuh mungil itu tertidur diatas pohon kesayangannya. Gagah namanya. Nama pohonnya. Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Gadis itu suka bercerita dengan pohon itu tentang apa yang ia alami sehari-hari. Rutin setiap hari, sudah seperti ritual memberi salam pada guru sebelum masuk jam pelajaran sekolah. Tapi itu dulu, sekarang gadis itu sudah tumbuh menjadi pelangi dewasa. Semenjak ia pindah ke Jakarta ia jadi jarang ber-ritual dengan Gagah.

"Gagah, kenapa sih kok harus laki-laki dulu yang berjuang?"

"Kenapa kaum hawa harus menunggu lama untuk mendapatkan Adamnya?"

"Bagaimana kalau seorang perempuan berjuang untuk seorang laki-laki, sedangkan laki-laki tersebut memperjuangkan orang lain?"

"Bagaimana, Gagah?" Tentu saja pertanyaan itu tidak akan dijawab oleh Gagah. Tapi setidaknya gadis itu merasa lega karena telah mengungkapkan isi hatinya.

"Dan sedihnya lagi, aku merasakannya sekarang. Gagah, aku hanya ingin mencari obat untuk menutupi luka di hati yang dulu sangat kritis. Aku hanya ingin mencari hujanku yang baru. Untuk apa aku menangis dan berharap pada sesuatu yang sudah hilang?" Timpal gadis itu dengan berurai air mata.

     Gadis itu masuk ke dalam kamar lamanya dan bernostalgia juga dengan meneteskan berlian yang keluar dari matanya. Ia mengingat-ingat masa kecilnya. Bagaimana ia menemukan yang namanya cinta pertama. Pelangi yang mencintai hujan. Dan sekarang pelangi itu kehilangan hujan untuk selama-lamanya. Ia tidak akan pernah bertemu dengan hujannya lagi.

     Ia pergi dengan kayuhan sepeda kuno miliknya dan hujan dulu.

"Ma, Pelangi mau pergi sebentar"

"Kemana, La?" Tanya mamanya yang pasti tidak akan ia jawab. Karena jawabannya akan susah sekali keluar dari mulut Pelangi.

     Ia mengayuh dengan pelan sambil mengingat apa yang ia pernah lakukan dulu bersama hujannya. Kenangan yang menjadi museum. Gelak dan tawa yang menjadi tangis. Dan tangis itu sekarang membanjiri pipi tembam milik Pelangi Sabhira. Gadis remaja bertubuh mungil, berparas lucu, dan hobi tertawa. Katanya dengan tertawalah ia bisa menutupi sejuta luka di hatinya. Pelangi juga suka puisi. Hujannya yang mengajari berpuisi.

"Hai, Genta"

"Maaf aku sudah lama tidak mengunjungimu. Ini aku bawakan bunga dan puisi yang aku buat sendiri. Sekarang aku lebih mahir berpuisi dibanding kamu" Kata gadis itu girang sambil meletakkan bunga di samping nisan yang memang tadi ia beli di toko bunga.

"Genta, aku minta maaf. Aku tidak bisa menepati janji untuk tidak menangisimu. Air mataku selalu jatuh saat aku teringat tentang kamu. Makanya sini Genta. Jangan kemana-mana."

"Genta... Andai saja kamu ada disini tadi, sekarang, besok, dan selamanya bersamaku pasti aku tidak akan menangis walau sekali saja. Pasti hari-hariku selalu dipenuhi dengan ketawa asli, bukan ketawa yang palsu seperti yang aku lakukan biasanya."

"Genta, sebenarnya aku ingin berlama-lama disini. Tapi senja sudah akan ditelan malam. Aku harus pulang. Besok aku akan balik ke Jakarta"

"Jangan rindu..." Pelangi mengakhiri percakapannya bersama Sang Hujan dengan air mata. Ia pulang dengan rasa lega. Lega karena telah mengobati rasa rindunya kepada Genta. Hujannya yang lama hilang.

Semoga suka! x❤️

Pelangi Dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang