4

111 10 2
                                    




Setelah kejadian beberapa minggu lalu. Pelangi tidak pernah melihat sesosok lelaki menyebalkan itu lagi. Munafik kalau ia tidak merasa kehilangan. Walaupun ia hanya bertemu dengan Devan dalam singkat waktu, tapi dengan mudahnya Devan menerobos dan merebut tempat yang seharusnya dimiliki Genta.

Sudah seribu kali Pelangi meyakinkan nurani nya untuk tidak berharap kepada Devan, tapi memang apa salah nya membuka ruang baru untuk seseorang? Mungkin Devan memang orang yang tepat untuk menggantikan Genta. Mungkin. Apa salah nya untuk mencoba? Yang salah itu jika Pelangi terus menutup hatinya rapat-rapat dan menjaga untuk seseorang yang memang sudah tiada.

Hujan 2

Sebenarnya ini bukan puisi, Genta.

Ini hanya kumpulan kalimat yang kubuat untuk mengutarakan rinduku.

Ketahuilah, aku selalu menjaga ruang istirahatmu di hatiku untuk selamanya.

Kusimpan dan hanya boleh ditempati olehmu, Genta.

Di luar sana banyak sekali mahkluk-mahkluk Tuhan yang berusaha menerobos ruang istirahatmu..

Tapi, tenang saja.

Ruang itu milikmu. Takdirmu.

Dan hanya Tuhan yang boleh merubahnya.

**

"Tunggu, kalau Tuhan merubah takdir yang seharusnya dimiliki Genta bagaimana?"

"Ya tidak apa-apa. Kan memang begitu isi puisinya."

"Sudah kubilang itu bukan puisi."

"Mahakarya seindah itu apa namanya kalau bukan puisi?"

"Hanya kumpulan kalimat yang kutulis untuk mengutarakan rindu"

"Kepada?"

"Genta." Gadis kecil itu terbangun dan menyadari bahwa sedari tadi ia tengah tertidur pulas dengan secarik puisi yang telah ia tulis. Tak sadar ada suara yang mengganggu tidurnya, seperti suara benda kecil yang dilempar menuju balkon kamarnya.

"Batu?"

"Ayo!" Suara seorang lelaki yang seminggu terakhir ini tak terlihat di mata Pelangi.

"Denta?!"

"Devan kali. Seneng banget ekspresinya. Kangen ya?"

"Ih"

"Ayo, La"

"Kemana?"

"Katamu Batu"

**

Ternyata Devan sudah meminta izin secara diam-diam kepada orang tua Pelangi. Dan tanpa curiga, orang tua Pelangi dengan gampangnya mengizinkan.

"Udah sana siapin baju"

"Aku gak mau"

"Minta diambilin ya? Udah sana ambil, aku udah izin ke orang tua kamu"

"Kan aku nya gak mau"

"Kan aku nya maksa"

"Terus?"

"Ya kamu harus mau. Nanti kita naik bianglala"

"Bener?!"

"Iya, Anak Kecil" Apa? Dia manggil aku apa? Anak kecil? Hish, kalau tidak karena bianglala aku tidak akan mengikuti permintaan manusia paling menyebalkan ini ke Batu.

**

Pantas saja orang tua Pelangi mengizinkan Devan untuk mengajaknya ke Batu, karena Devan bilang kalau dia adalah pacar Pelangi. Sebenarnya ia tak bisa menyembunyikan rona merah pada pipinya, namun ia juga tidak bisa meyembunyikan kejengkelannya pada Devan. Bagaimana tidak? Devan yang seenaknya singgah, lalu pergi, lalu kembali lagi, selanjutnya apalagi?

Anxiety pada otak Pelangi semakin bertanya-tanya Pantaskah aku membuka hati? Pantaskah Devan menjadi hujanku? Dan di lain sisi pun menjawab sudahlah ikuti alurnya. Tuhan selalu punya cara terbaik.

Di stasiun Pelangi hanya melihat seluruh keadaan dengan pandangan kosong. Ia melihat banyak orang menangis karena perpisahan, bahagia karena pertemuan, dan ada pula yang biasa saja karena kesendirian. Di tengah keramaian, pandangan kosongnya teralihkan oleh seseorang yang sangat mirip bahkan sama persis dengan hujan lamanya. Genta.

Devan yang melihat Pelangi berlari-larian mencari jejak lelaki itu, ia pun ikut berlari.

"Pelangi kenapa?"

"Genta.. Genta"

"La, La. Sadar. Genta udah gak ada, La"

"Tapi tadi itu Genta. Aku yakin banget itu Genta"

"Bukan, La. Genta udah gak ada"

"Yang tau Genta itu aku. Kamu gak usah ikut-ikut"

"La.." Sedih. Sangat sedih perasaan Devan saat itu. Ia tidak pernah dianggap ada oleh Pelangi.

"Tadi itu beneran Genta, Dev"

"Ayo keretanya udah mau berangkat"

"Tapi, Genta?" Tanpa basa-basi, Devan menggenggap lembut tangan Pelangi dan berlari menuju kereta yang akan mengantar mereka ke Batu.

**

Perjalanan memakan waktu sekitar 21 jam. Tidak ada percakapan selama perjalanan. Pelangi tertidur, dan Devan sibuk mengamati wajah Pelangi. Lucu banget sih. Seberapa pentingnya sih Genta itu, La? Andai kamu nengok dan nganggep aku ada walau hanya sekali aja.

Tiba-tiba mata Pelangi terbuka dan menangis.

"Kamu jahat, Dev"

"Gen.."

"Iya Genta"

"Maaf, La"

"Coba tadi kamu gak narik aku, pasti sekarang aku bisa ngelihat Genta."

"La, tapi."

"Masa tadi bukan Genta sih, Dev"

"Kan Genta udah gak ada, La. Kamu nya aja yang belum ikhlas" alhamdulillah nyadar juga nih anak kecil batin Devan.

"Hmm"

"Kalau kamu gak ikhlas, gimana Genta bisa tenang disana?"

Gadis itu tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Di satu sisi ia percaya dengan realita. Dan di satu sisi ia tidak bisa mendustai pengelihatannya, sudah jelas tadi bahwa lelaki yang ia lihat di stasiun memakai gelang yang waktu itu ia buat bersama-sama dengan Genta.

**

Maaf, La. Aku harus berhenti memandangimu dan berlari saat mataku tak sengaja tertangkap pandang dengan milikmu.

Semoga suka! x❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelangi Dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang