Bagian Lima

145 22 29
                                    

Sejak hari itu, kehidupanku kembali berjalan dengan lancar. Memenuhi tanggung jawab sebagai anggota OSIS, sebagai siswa, dan sebagai anak yang berbakti. Meskipun begitu, bukan berarti aku melupakan sosok Kak Fajar. Aku tahu dia baik-baik saja. Itu lebih dari cukup.

Permasalahannya hanya satu; kemarau. Selain membakar Bumi, terik matahari juga membakar kesabaran. Seperti hari ini, misalnya. Sekolah mengadakan acara Pentas Seni. Seluruh siswa diwajibkan untuk hadir dan aku, selaku anggota OSIS, diwajibkan untuk menjadi panitia. Dengan berseragamkan kemeja biru, aku menghadiri acara itu.

Mulai dari pembukaan, kata sambutan, kemudian pentas-pentas yang ditampilkan oleh murid-murid berbakat. Penampilan yang begitu apik ditunjukkan oleh peserta tari dan accoustic.

Lelah, acara ini sangat melelahkan. Tak perlu menunggu sampai selesai, semua guru dan siswa sudah mendesah kepanasan. Mau tak mau, pesta dilakukan tergopoh-gopoh. Ketua OSIS tampak kewalahan, namun ternyata itu dinilai tidak seberapa.

Menurut pendapat para senior, ketua OSIS tahun ini tidak sebanding dengan yang tahun lalu. Aku menelan ludah ketika mendengar kabar itu. Kak Fajar. Dia jauh lebih baik?

Lepas dari tanggung jawab sebagai panitia, aku segera berjalan menuju halte. Aku ingin pulang, rumah jauh lebih baik untuk mengistirahatkan diri. Cukup jauh aku berjalan. Sendirian. Tiba di halte dengan guyuran keringat membahasi tubuh.

Di sinilah aku. Menunggu bus yang tak kunjung datang, dikelilingi calon penumpang yang kian meradang.

"Awas saja itu sopir, habis-habis kumarahi dia nanti." Ibu-ibu dengan logat khasnya kembali menggerutu.

Ah, aku tidak pernah menyangka dunia akan berubah secepat ini. Tahun lalu hujan selalu mengguyur Bumi, setiap hari aku terperangkap di halte ini. Ya, hingga kemudian pria itu tiba-tiba datang, lantas aku meminjamkannya sapu tangan kepadanya.

Aku mendesis. Astaga, mengapa aku lupa dengan benda yang satu itu? Tanpa ba-bi-bu, aku membuka resleting tas, lalu mengambil selembaran kain persegi. Aku tersenyum. Sapu tangan ini dianggap berharga oleh Kak Fajar. Entahlah, aku bahkan tidak pernah menyangka soal itu. Merasakan keringat yang membanjiri pelipis, kuelap segera menggunakan sapu tangan itu.

Sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di kepalaku. Benar, semua hal yang terjadi padaku hari ini selalu berkaitan dengan sosok Kak Fajar. OSIS, halte, menunggu, dan sapu tangan. Semua hal itu mengandung kenangan indah yang sulit terlupakan. Hanya satu yang tak ada. Hujan. Aku benar-benar merindukan berkah yang telah lama tak Tuhan berikan.

Sungguh, aku menyesal. Aku pernah meminta kepada-Nya untuk tidak mendatangkan hujan ke Bumi. Saat itu aku kesal, aku tidak pernah memikirkan betapa menderitanya hidupku tanpa adanya setitik air.

"Nah, itu dia!" Seorang laki-laki berseru.

Aku menoleh. Sebuah bus kota dengan kecepatan sedang, berjalan menghampiri kami. Semua orang bersorak senang, kecuali ibu-ibu Batak yang masih mengoceh sampai saat ini. Aku berdiri, memasukkan sapu tangan ke dalam saku celana. Satu per satu penumpang keluar-masuk pintu bus kota.

Kak Fajar, inilah kisah hidupku. Hidupku tanpa kehadiranmu. Terima kasih, kau pernah hadir dalam cerita ini. Karenamu, aku dapat memahami sesuatu. Bahwa pertemuan bukanlah awal dari perjuangan, karena perjuangan sesungguhnya berawal dari perpisahan.

Hujan, inilah kisah hidupku. Hidupku tanpa kehadiranmu. Terima masih, kau pernah hadir dalam cerita ini. Karenamu, aku dapat memahami sesuatu. Bahwa hal yang dianggap biasa, dapat menjadi sesuatu yang berharga bila telah tiada.

-Tamat-

Horay! Tamat juga ternyata. Terima kasih kepada kalian yang sudah berkenan membaca. Semoga cerita ini dapat memberikan sedikit manfaat :)

Hujan Membuatku RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang