Pagi itu aku terbangun dari tidur. Mungkin tampak biasa. Namun tidak jika terbangun tanpa ada alarm. Tak ada yang membangunkan, memang pagi itu aku sangat tampak puas.
Kalau orang tua tempatku bilangnya "si bak tengeut" yang jika di terjemahkan kedalam bahasa kita menjadi rancu yaitu "sebatang tertidur" sebenarnya makna dari itu ialah tertidur pulas tanpa ada yang mengganggu mu.
Beranjak dari ranjang tidur semua tampak sepi, terkadang nasi-pun tak tersaji apa lagi seperti teh dan kopi itu tentu menjadi mimpi.
Ibuku bekerja dikantoran karna itu pastinya aku dari keluarga yang bisa dikatakan mapan, namun aku tak ingin tampak borjuis di kalangan teman-teman. Aku hanya merasa tidak nyaman jika sebagian kawan berfikiran hidupku sudah bisa dikatakan berkepunyaan.
Aku sangat ingin mengatakan pada setiap rekan tentang kesunyian, mengatakan apa yang ku pikirkan meski yang terbayang hanya merindukan keramaian.
Alih-alih mencari solusi perutku yang keroncongan, aku lebih yakin jika pagi itu otakku di dikte oleh oknum yang benar-benar kelaparan. Kaki berjalan menyisiri samping dapur untuk mengambil beberapa muk beras yang siap berevolusi menjadi nasi. Tak semudah itu, karena aku tak makan dalam telapak tangan, tentu piringpun harus segera ku bersihkan.
Begitulah negosiasi yang kutawarkan untuk mempermudah mendapatkan sedikit jajan dari ibuku ketika nanti diwaktu ia pulang.
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Tangisan Dalam Tawa
RandomAku sangat ingin mengatakan pada setiap rekan tentang kesunyian. mengatakan apa yang ku pikirkan, meski yang terbayang hanya prihal merindukan keramaian.