Rumah Kedua

40 8 0
                                    

Ketika angin sejuk mulai perlahan melangkah dan lari pergi, di belakangnya di susuri oleh angin yang tak sesejuk pagi.

Aku mulai berkemas menuju rutinitas, boleh jadi petualangan hari-hari tanpa batas.
Ibu pulang, dan rumah kini berganti penghuni yang lebih pantas (kata rumah). Akupun pamit kepada rumah dan isinya, "rumah kau kutinggal aku pergi dulu, kau jangan cemburu apa lagi rindu". Kata dari hatiku.

Motor yang sudah tak menjadi panutan masa mulai ku kandara, perjalanan di mulai hari ini. Arah kiri selalu menjadi pilihan namun itu bukan jalan menuju arah ke neraka, salahkanlah negara saja. Kurasa kau paham.

Mulailah kuputuskan arah kemana yang menjadi pilihan. Ajakan ke pesisir kota pasti tiada, apalagi di siang hari. jika ada, itupun temanku yang pasti gila. Ke arah kampus? Aku belum cukup tenaga apalagi jika untuk berjumpa beberapa rekan yang mungkin  telah pergi dari sana.

Semester-semester akhir itu terlalu sakit untuk dikenang kawan. Ketika berfikir tentang ini aku selalu teringat akan karma. Tak terlalu jahat menurutku dulu. Hanya sebatas candaan kepada abang-abang leting (angkatan). Bang gimana udah selesai? Udah sidang? Kapan yudisium?. Kejam,.. kuyakin di saat itu alam berbisik pada waktu, dan waktu langsung menetapkan karma pada waktunya untuk ku.

Warkop tempat biasa dan rumah perantara kurasa menjadi tempat yang sempurna, tapi tak sesepurna tempo lalu di kampusku. Kampus yang selalu menjadi tempat ku mengadu, jatuh, bagun sampai bisa berlari. Namun entah dimanapun rumah kedua selalu ada pada masanya, selalu ada saat jayanya.

Rumah perantara sebutanku pasti kau paham. Rumah yang selalu ada meski kau tak tau dimana. Rumah bukan atap yang berlantai bersama sekatan. Rumah itu tempat kau bisa bangun, bisa besar, dan pastilah bisa bebas tumbuh menjadi dirimu sendiri. Rumah kedua terkadang memang lebih sempurna.

BERSAMBUNG...

Bahagia Tangisan Dalam TawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang