Hujan & Kamu

87 13 32
                                    

Aku benci hujan. Karena saat hujan, aku kehilangan segalanya.

~❤~

Cuaca hari ini sangat tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur Kotaku. Petir bersahutan, bagai irama yang mengiringi suasana sore yang mulai mencekam. Sesekali aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, berharap mendapat kehangatan karenanya.

Aku masih setia menunggu bus di halte yang tidak jauh dari sekolahku—SMA Pertiwi. Sebenarnya, bisa saja aku berjalan menerobos hujan, mencari tukang ojek di pangkalan sekitar sini. Tapi aku tak mau mengambil risiko, jangan sampai aku sakit nantinya. Tidak, sebenarnya bukan hanya itu alasannya, tapi  karena aku ... Benci hujan.

Dan ya, beberapa hari lagi akan ada pentas seni di sekolahku.  Ekstrakulikuler yang ku ikuti, yaitu teater akan menampilkan sebuah pementasan drama di acara itu. Bahkan, hari ini aku pulang terlambat karena harus mempersiapkan segala keperluan untuk pementasan nanti.

Sekarang, aku menyesal karena tidak pulang naik taksi saja bersama Vika. Sore-sore begini, disertai hujan deras biasanya bus akan datang terlambat.

"Boleh duduk disini?" Entah darimana datangnya, tiba-tiba seorang lelaki berdiri di hadapanku. Sepertinya dia menerobos hujan, terlihat dari bajunya yang basah kuyup.

Aku hanya diam, tak meng-iyakan tak juga melarang. Lelaki itu segera mengambil tempat  duduk di sampingku. Sudah kuduga pertanyaannya tadi hanyalah basa-basi belaka. Sesekali dia mengacak rambut basahnya, aku tak mengetahui warna rambutnya, selain karena basah juga karena hari yang mulai gelap.

Dilihat dari wajah dan penampilannya, sepertinya dia adalah tipe lelaki yang sok cool dan irit bicara seperti lelaki kebanyakan, apalagi saat mata hitam pekatnya tepat menatapku. Mungkin dia sadar, jika sejak tadi aku memperhatikannya. Aku segera memalingkan wajahku, merasa malu karena ketahuan memperhatikan lelaki itu secara terang-terangan.

"Nama lo siapa?" Pertanyaan lelaki itu memecah keheningan yang terjadi beberapa saat lalu.

"Ara," jawabku singkat. Sungguh aku merasa tak nyaman, ini pertama kalinya aku berbicara dengan seorang lelaki yang bahkan baru kukenal, hanya berdua.

"Lo gak ada niatan nanya nama gue?" tanyanya lagi.

Dengan enggan aku bersuara, "lo?"

Lelaki itu tampak bingung, "apa?gue?" dia menunjuk dirinya sendiri. "gue manusia lah. Emang lo pikir gue vampire?" lanjut  lelaki itu sambil tertawa. Padahal menurutku itu sama sekali tidak lucu.

"Nama," ketusku. Jujur, aku cukup kesal karena lelaki itu masih saja tertawa.

"Oh,yang jelas dong kalo nanya. Gue gak pinter bahasa, kalo ujian aja selalu remed," cerocosnya.

Sepertinya dugaanku yang mengira dia lelaki cool dan irit bicara, salah besar. Karena nyatanya dia sangat cerewet, melebihi kecerewetan bi Min—pekerja rumah tangga di rumahku.

Aku hanya diam. Bingung ingin membalas apa. Yang ku lakukan hanyalah menatap air yang mulai menggenang, sambil menikmati bunyi air hujan yang beradu dengan jalanan. Dan aku, kembali membenci hujan dan segala tentangnya.

"Eh, gue udah nyebutin nama gue belum?" tanya nya lagi, terdengar bodoh ditelingaku.

"Belum," jawabku malas.

"Hehe...sori ya, gue lupa tadi. Efek hujan kali ya." Dia tertawa garing.

Apa hubungannya coba antara hujan dan dia yang lupa?

IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang