Leben.

455 42 6
                                    

Memendam rasa yang meletup-letup bukanlah hal yang mudah. Mau itu rasa amarah, sedih, kecewa, maupun rasa suka.

Sayangnya, Petra sudah memendam rasa itu selama 3 tahun lebih. Rasa suka yang awalnya masih bibit, tumbuh menjadi pohon yang bercabang-cabang dan besar layaknya pohon berumur ratusan tahun.

Wanita itu jatuh hati pada pemimpin perang terkenal paling galak dan ditakuti kawan maupun lawan. Pria yang dijuluki Manusia Terkuat.

Seharusnya Petra tidak menaruh hati padanya. Peringainya terkenal buruk, meski tampangnya rupawan. Tapi, Petra tahu sekali, apa yang dikatakan orang-orang tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya pria itu baik hati. Satu-satunya orang yang menolong Petra ketika wanita itu hampir dilecehkan preman-preman di gang dekat rumahnya.

"Minggir. Babi tidak pantas dapat malaikat, tahu?"

Kata-kata kasar itu terngiang di kepala Petra. Juga bagaimana tubuh pendek itu dapat mengalahkan belasan pria bertubuh lebih besar darinya dengan mudah.

Seharusnya Petra tidak menaruh hati padanya sejak saat itu. Karena sekeras apapun wanita jelita itu mencoba, hati pria itu tidak akan berlabuh padanya.

Tapi, siapa dia bisa menyalahkan perasaan? Perasaan itu datang dan mengalir begitu saja. Semakin besar saat intensitas bertemu mereka bertambah—walau hanya sekedar berpapasan saja—saat Petra ditempatkan sebagai perawat di tempat pria itu bertugas.

Dan ketika berita ketika pria itu terluka parah, bahkan mengancam nyawanya, Petra gelisah dan khawatir bukan main. Ia sampai hampir membahayakan pasien lain karena pikirannya berkecamuk. Ia percaya julukan Manusia Terkuat dilampirkan padanya bukan hanya karena julukan semata, tapi ia memang kuat, dan ia menyaksikan sendiri hal itu. Tapi, rasa cemas itu menghantui. Pria yang ia sayangi, pria yang ia cintai, ia tidak tahu apakah ia masih bisa melihatnya lagi.

Kepala perawat memanggilnya di larut malam saat ia akan kembali ke barak peristirahatannya, karena sudah pergantian shift. Rico—kepala perawat di markas, tampak gugup, membuat Petra mau tak mau gugup juga.

"Aku tahu kau lelah. Akupun begitu," mulainya. "Tapi kau punya tugas baru. Laksanakan dengan baik."

Petra hendak membuka mulut untuk bertanya, tapi Rico meneruskan kemudian, "Prajurit kita, Manusia Terkuat itu, berhasil melewati masa krisisnya. Astaga, dia benar-benar manusia atau bukan? Dia hidup."

Dia hidup.

Dia hidup! Petra memekik penuh kelegaan dan kebahagiaan dalam hati. Dia masih hidup, dia berhasil melewati maut!

"Meski begitu, dia masih belum siuman. Semua dokter masih memantau perkembangannya. Bagaimanapun juga, dia kartu Ace kita," jelas Rico. "Astaga, bisakah kau percaya, Petra! Belasan peluru menembus tubuhnya, tapi dia bertahan!"

Petra tidak terlalu menangkap cerocosan Rico selanjutnya. Ia sendiri masih dalam euforia lega dan bahagia, sampai sebuah kalimat menariknya kembali ke dalam perbincangan.

"Dan Petra, kutugaskan kau untuk merawat dan menjaga prajurit kita ini, setidaknya sampai dokter menyatakan dia sembuh total dan bisa kembali ke medan perang. Kuharap kau tidak keberatan."

Oh, tentu Petra tidak keberatan. Dilihat dari ekspresinya, ia senang bukan kepalang.

"Tentu tidak, Kepala Perawat Rico! Saya akan menjalani tugas ini dengan baik!"

Kapan lagi ia bisa mendapatkan kesempatan ini? Merawat dan berduaan dengan pria yang ia kagumi dan cintai? Ini tugas yang mulia!

"Bagus kalau begitu. Para petinggi sudah mendiskusikan hal ini. Dan aku sudah berbicara kepada Letnan Jendral baru kita, Hanji Zoe, bahwa kau akan dibantu secara sukarela oleh prajurit trainee."

Oh, jadi tidak berduaan saja. Petra mendesah kecewa diam-diam.

"Tentu aku tidak ingin mengambil resiko perawatku kelelahan dan jatuh sakit, kau juga dibutuhkan di bangsal pasien ketika keadaan darurat yang belakangan ini sering terjadi. Jumlah perawat terbatas sekali, jadi aku meminta Hanji untuk—"

"Oh, yahoo! Rico!"

Di ujung koridor, sosok jangkung Hanji hadir dan berseru dengan dua orang yang tampak... diseret olehnya? Rico mendelik kepada Hanji karena membuat gaduh di malam hari dan bangsal pasien tepat di sebelah mereka.

"Kupikir kau sudah tahu aturan di rumah sakit, Hanji! Pelankan suaramu!" Hardik Rico ketika Hanji mendekat, sambil menyeret kedua pemuda ditangannya.

"Ooops! Aturan baru kah?—Aku bercanda, Riko, jangan menatapku seakan kau ingin mencabik-cabikku dengan pisau bedah." Hanji buru-buru membetulkan ucapannya ketika ekpresi Rico makin mengeras.

"Taraaa! Aku bawa bala bantuan untukmu!" Hanji mengangkat kedua tangan pemuda itu yang digenggam olehnya. Kedua pemuda yang tampak kebingungan dan kelelahan itu pasrah dengan perilaku absurd Jendral mereka.

"Dan kubilang aku hanya butuh satu!" Hardik Rico kembali, melirik sinis kedua pemuda disamping Hanji.

"Oh? Hm."

Hanji kemudian meneliti kedua pemuda tersebut yang menatapnya gugup.

"A-ano, Letnan Jendral, sebenarnya apa yang—"

"Aha! Kau!"

Yang jangkung diantara keduanya di dorong kedepan oleh Hanji, membuatnya tersungkal dan hampir menabrak sang Kepala Perawat. Dengan sadis, Rico mendorong pemuda tersebut sampai tersungkur sebelum sempat menabraknya, dan berdesis marah ke Hanji setelahnya.

"Berhentilah bermain-main, sialan!"

"Ah, tidak, tidak. Pemuda itu yang nantinya bertugas untuk membantu perawatmu, oke?"

"Hah?" Pemuda yang tersungkur itu menatap Rico dan Hanji bergantian dengan tidak percaya. "Tunggu, maksudnya apa? Aku membantu perawat untuk apa?"

Rico tampak semakin kesal. Rahangnya mengeras dan menatap Hanji penuh amarah. "Apa-apaan ini? Kau belum menjelaskan pada mereka? Kau pilih asal-asalan prajurit untuk membantu perawatku?"

"Wow, tenang, Rico." Disaat seperti ini, Hanji masih cengegesan. "Kupikir itu tugasmu untuk menjelaskan segala tetek-bengek keperawatan," ia kemudian melirik pemuda—yang masih tersungkur itu, nyaman memangnya tersungkur begitu?

"Dan kuharapkan kerjasamamu, kecuali kau memilih untuk hukuman menggosok toilet sampai masa pelatihanmu selesai ya, tak apa, bisa kubicarakan dengan Nile."

"Baik, Letnan Jendral, saya bersedia untuk membantu perawat!" Pemuda itu sentak berdiri dan memberikan posisi hormat pada Jendralnya.

"Hohoho, anak baik. Sekarang perkenalkan dirimu kepada teman perawat kita."

Pipi pemuda itu memerah ketika ia baru menyadari, ia berhadapan dengan wanita sedari tadi. Di barak hanya terdapat laki-laki, ketika ia bertemu lawan jenis, otomatis ia merasa canggung dan aneh.

"E-Eren Jaeger, prajurit latihan angkatan 104, dimohon bantuannya!"

Love That Is Worth ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang