Prolog

56 6 2
                                    

  Sudah menjadi keseharianku. Menyelusuri lorong penuh tatapan. Tatapan pengaguman. Hanya tertuju padaku. Membiarkannya begitu saja. Mencoba tak menghiraukan.

  Setelah sampai di lorong paling ujung sekolah-alias lorong menuju kelasku-, aku melihat seorang gadis cantik dengan rambut lurusnya yang menjuntai hingga pinggulnya sedang menatap layar ponsel sambil bertengger diambang pintu kelas. Aku melewatinya begitu saja.

"Dari mana aja lo, Net. Gue nungguin lo daritadi tau gak." ketusnya. Langkahku terhenti diantara dua meja yang dipenuhi dengan coretan tipe-x dan pulpen.

"Siapa yang nyuruh lo nungguin?" kataku sambil menaikan satu alisku. Aku kembali melanjutkan perjalananku kearah kursi paling belakang. Kuletakkan tas yang kuselendangkan tadi dibangku tempat kududuk. Aku memutar balik arah jalanku menuju kantin.

"Net, mau kemana?" Tanya Charista.

"Kekantin. Ada urusan bentar sama Tio." jawabku polos. "Ikut?" sambungku.

"Ogah." jawabnya singkat. Aku meninggalkannya segera, karena takut bel akan segera berbunyi.

  Aku melangkahkan kaki bak seorang artis yang menjadi pusat perhatian. Banyak mata yang menatapku. Terpukau. mungkin.

   Anetta Agustina. Terkenal dengan nama Anett. Namun aku lebih suka dipanggil Netta. Gadis cantik, berprestasi, pintar, cantik melebihi gadis biasanya, lebih-lebih lagi dengan tubuh yang ramping dan tinggi. Dingin, cuek, sifat yang paling menonjol dalam diriku. Memang seperti yang tak dibayangkan kebanyakan orang. Paras bisa berbohong. Aku siswi tertenar sepanjang sejarah. Dapat dibayangkan seberapa populernya aku.

"Heh! Tio, balikin duit gue?!" ketusku sambil menggubrak meja tempat para cogan duduk-gengnya Tio.

  Aku mencekam erat kerah lehernya. menatapnya lekat lekat. Aku dapat merasakan hembudan nafasnya.

"So-sorry, Net. Gue masih belum punya duit... Besok dech. Swear." katanya dengan menunjuk tangannya yang berbentuk v.

  Prash Prasetio. Playboy yang terkenal dengan cewek cewek cantik. Ganteng. Sangat ganteng. Romantis, perhatian, membuat cewek murahan terpikat dengannya. Dia adalah ketua dari group cogan.

"Dasar playboy! Kalo gak punya duit buat ganti gak usah minjem donk!!"
Aku menghempaskan cengkeramanku. Tiba tiba saja seseorang menyerahkan selembar uang bernilai seratus ribu.

"Ini kak." katanya.

  Aku melihatnya lekat-lekat sambil menggabungkan dua alisku. Aku memandangnya dari atas hingga bawah berkali kali. Senyumku meremehkan.

"Anak baru, ya?"

Tak ada jawaban. Hanya senyuman yang berpelengkap dengan lesung pipi.

Aku meninggalkan mereka yang terdiam memandangku dengan pandangan–entah lah. Aku sendiri tak bisa menjelaskan.

***

  Seorang gadis cantik duduk dibangku belakang sambil menatap layar ponsel dengan serius. Ya, itu aku. Tak lama kemudian bel berbunyi disertai dengan segerombolan siswa siswi SMA Bintang Langit kelas XII IPA 2 masuk kekelas ku. Konsentrasiku membuyar. Aku terhenti dalam memainkan jariku diatas layar ponsel.

"Nett!! Hape lu!! Pak Jonny OTW!!" salah satu dari mereka adalah Charista. Dia memberi kode untukku. Spontan, aku meletakkan ponselku dibawah kolong meja. Aku memutarkan bola mata. memajukan bibir bawahku. Setelah lari berdesakan, Charista duduk disebelahku.

"Net, Net." kata Charista sambil menepuk pundakku keras.

"Apaan sih lo?"ketusku.

"Gue punya kabar baik buat lo. Ada murid baru. Ganteeeng."

"Apa itu masalah?" tanyaku santai

"E-enggak sih. Cuma... "

"Gak usah dipermasalahin." potongku.

Aku, bahkan anak satu kelas menunggu kehadiran Pak Jonny dibangku masing masing. Tak ada yang bergerak. Hingga menit ketiga puluh, Pak Jonny tak kunjung menampakkan diri. Aku mendengus pelan.

"Lama banget Pak Jonny..." keluh Charista.

Aku meliriknya sekilas.

"Sabar kali. Biasanya demen kalo JamKos. Tumben." kataku yang sedari tadi memainkan ponsel.

Seseorang menarik perhatianku. Ia berjalan diluar kelas kearah kelas sebelah. Bukan ketampanannya yang menarik perhatianku. Namun dia adalah cowok yang memberikan uang kepadaku.

"Net, Net. Tuh anaknya." kata Charista sambil menunjuk cogan itu dengan dagu.

"Udah ah! Gak penting banget." balasku sambil menyatukan alisku.

***

"Kak!" panggilan itu. Aku tau suaranya. Mungkin dia manggil orang lain. Batinku.

"Kak!?" untuk yang kedua kalinya. Aku masih belum berniat untuk menoleh kearah belakang.

"Kak!?" lantang sekali. Suara itu terasa dekat. Sesuatu yang hangat menyentuh pundakku. Sesorang menepuk pundakku keras. Sontak membuatku membuatku menoleh.

  Pandangan kami terkunci. Ia sama tingginya denganku. Hal yang bisa kulakukan sekarang adalah menarik napas dalam, dan membuangnya lewat mulut. Tak ada yang bersuara diantara kami.

"Mau ngambil duit lo tadi, yang lo kasih ke gue?" kataku sambil nengangkat satu alisku.

"E-enggak kok, Kak." terbata bata. Aneh banget sih, ni anak. Kata hati kecilku.

"Terus, mau apa?"

"Aku boleh ikut nebeng gak, kak?" katanya santai. Setan apaan yang ngerasukin ni anak. Batinku berkomentar.

"Gak."

"Please kak. Aku gak ada yang jemput... " katanya dengan nada merayu.

"Masalah lo donk. Naik angkot aja napa."

"Ya udah kak. Gak papa. Makasih."

Not More ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang