Satu

658 39 6
                                    

Namaku Taehyung.

Umurku 16 tahun. Sekarang berada di tingkat akhir sekolah menengah atas.

Aku menempati bangunan tua berlantai dua di pinggiran kota Seoul bersama orangtua dan adikku. Ayahku bekerja sebagai pegawai di pabrik kertas di pusat kota. Dan Ibuku, seperti kebanyakan ibu lainnya yang tinggal di lingkungan yang sama, seorang ibu rumah tangga biasa. Yang menghabiskan waktu mengurus rumah dan menjaga anak-anaknya.

Sedangkan adikku, dia dua tahun lebih muda dariku. Namanya Jungkook. Bersekolah di tempat yang sama denganku walau beda tingkat.

Secara fisik kami cukup berbeda meski tetap ada sedikit kemiripan. Jika aku duplikat Ayah, maka Jungkook seperti adik kembar Ibu. Sepasang matanya bulat dan indah. Dua gigi depannya agak besar membuatnya mirip kelinci. Dan senyumnya sangat manis membuatmu ingin mencubit pipi bulat itu gemas.

Dia anak yang sangat cerdas walaupun agak sedikit berbeda daripada orang kebanyakan.

Maksudku, sejak lahir Jungkook mengidap kelainan yang aneh. Tidak terjadi sepanjang waktu. Tapi ketika itu sedang terjadi, dia akan duduk merapat di pojok kamar dan membanting barang-barang atau mencakar dirinya sendiri jika seseorang mendekatinya.

Sampai sekarang itu masih menjadi misteri bagiku. Bagi kami semua.

Jungkook bisa bersikap sangat normal suatu waktu. Dia bermain bersamaku, mengobrol tentang film animasi terbaru, dan pembicaraan ringan yang normal lainnya. Hingga tiba-tiba dia menjadi orang lain dalam sekejap.

Tentu saja segala cara sudah di tempuh untuk kesembuhannya. Bahkan Ayah harus berhutang kepada atasannya untuk biaya pengobatan. Dan itu masih belum berhasil.

Tapi sekarang entah bagaimana, kelainan itu semakin jarang muncul bahkan hampir hilang sama sekali.

Persisnya, sejak Jungkook kembali hilang kendali. Kali ini lebih parah hingga menyebabkan satu ruangan hancur.

Ketika itu aku berumur 8 tahun.

Aku sedang menyusun puzzle di atas karpet ruang tengah di sebelah Jungkook yang duduk menghadap buku gambar beserta crayon yang berserakan di sekitar kaki-kaki kami.

Saat itu pagi yang cerah di hari Rabu. Sekolah sedang libur karena sedang di renovasi. Ayah bekerja seperi biasa dan Ibu sepertinya sedang mencuci karena aku bisa mencium wangi detergentnya dari tempatku duduk.

Tiba-tiba Jungkook menjerit keras, membuatku terkejut.  Aku berlari ke dekat pintu saat Jungkook membalik meja kaca di sebelahnya sekali ayun dengan tangan kecilnya. Ia berubah menjadi monster.

Aku mulai ketakutan dan menangis melihat kekacauan itu. Jungkook masih mejerit histeris sambil menarik-narik kaos yang di kenakannya sampai sobek di beberapa bagian.

Ibu datang tergopoh-gopoh. Penuh busa sabun sampai siku. Tapi Ibu bahkan tak dapat mendekati Jungkook karena setiap kali Ibu mulai bicara, Jungkook melemparinya dengan segala hal yang terjangkau tangannya.

Aku menangis di belakang punggung Ibu. Sementara Jungkook masih mengamuk. Barang-barang yang semula tertata rapi kini tak ada yang berdiri tegak dan utuh. Vas bunga, bingkai foto, hingga gramofon tua peninggalan kakek, semua berserakan di lantai, di antara potongan puzzle, crayon dan bulu-bulu angsa yang berterbangan dari bantal sofa yang koyak.

Tak ada yang bisa kami lakukan. Ibu menghubungi ayah dengan tangan bergetar menggenggam gagang telepon.

Sementara menunggu Ayah datang, perlu 40 menit perjalanan dari pabrik sampai rumah, Ibu mencoba menenangkan Jungkook dengan sabar. Tapi percuma.

Jeritannya malah semakin keras.

Para tetangga yang ingin tahu mulai berdatangan. Mereka menonton dari halaman melalui kaca jendela yang pecah terhantam asbak.

Save Me [kth]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang