Kami seharian duduk membisu di atas mobil yang melaju. Hari semakin sore, tetapi ayah tidak menampakkan tanda-tanda akan menghentikan mobilnya di dekat-dekat sini. Aku sampai berpikir, mungkin kami hanya akan pergi memutari negeri ini sampai kembali ke rumah lagi.
Perutku sudah lapar sejak tadi dan aku hanya menahannya. Aku ingat sempat menanyakan apakah kita akan berpiknik kepada ibu. Tapi ibu hanya diam dan terus menatap lurus ke depan. Itu cukup memberitahuku untuk tak menanyakan apapun lagi. Lagipula, aku cukup menikmati perjalanannya.
Ketika hari hampir gelap, ayah membelokkan mobil melewati jalanan berbatu. Tak ada gedung atau perumahan. Di kanan kiri jalan hanya ada pohon-pohon gundul dan semak kering.
Mobil berguncang-guncang ketika ban menggilas bebatuan. Ini kawasan perbukitan. Sebuah rambu petingatan rawan longsor menancap di tepi jalan. Aku masih tak tahu mengapa kami ke sini.
Sebuah pikiran melintas dan membuatku bergerak gelisah. Tak nyaman.
Apakah mereka akan membuang Jungkook?
Mobil berguncang sekali lagi. Kemudian berhenti.
Ayah mematikan mesin mobil dan membuka pintu. Ibu melakukan hal yang sama sembari meraih pergelanganku.
Langit gelap, hanya menyisakan semburat tipis jingga di ujung barat. Udara cukup dingin dan aku menahan keinginan untuk buang air kecil.
Ibu menarikku berjalan maju bersamanya. Ayah sudah menunggu di depan sambil mendekap Jungkook kecil dalam gendongannya—yang rupanya masih tidur. Kami menapaki jalan berbatu yang segera habis dan berganti menjadi jalan setapak yang mengarah masuk ke dalam hutan.
Hari gelap sepenuhnya. Jangkrik berbunyi nyaring, jeritannya menusuk telinga. Gemerisik daun tertiup angin membuatku merinding. Pepohonan menciptakan bayangan gelap menakutkan. Tak ada yang membawa penerangan, jadi kami berjalan dalam gelap. Ayah terus maju tanpa ragu. Dan aku masih tidak bisa menghilangkan prasangka-prasangka buruk mengenai ini.
Prasangka bahwa Jungkook benar-benar akan di buang.
Aku tertatih-tatih berjalan di belakang ibu dengan tangan kami yang saling mengait. Udara begitu dingin, tetapi tanganku basah berkeringat dalam genggaman ibu. Ayah menuntun kami memasuki pepohonan lebat yang cabang-rantingnya merangas. Ujung-ujungnya yang terlihat tajam menusuk langit dipancari cahaya bulan sepotong.
Angin dingin musim gugur berhembus, aku menggigil dan mendongak menatap ibu. Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya karena gelap dan sinar bulan tidak cukup kuat untuk menerangi, tetapi kedua matanya bersinar dalam gulita, menatap lurus ke depan.
Kami semakin jauh ke dalam hutan. Aku tidak sempat heran tentang bagaimana perjalanan kami begitu lancar tanpa tersandung atau apapun, karena kepalaku terlalu penuh dengan pikiran-pikiran buruk.
Ketika aku sudah yakin bahwa ini benar-benar akan berakhir buruk, kami keluar ke bukaan yang luas. Udara menghangat. Ayah berhenti. Kami yang di belakang ikut berhenti.
Burung hantu ber-uhu dari suatu tempat. Rumput yang bergoyang terbawa angin membelai lembut kakiku. Aku bisa mendengar deru nafas ayah yang berat. Suasana begitu sunyi. Aku bahkan bisa mendengar daun kering jatuh dengan suara 'pluk' ringan ke tanah—saking sunyinya malam itu.
Kemudian jantungku berdebar-debar. Lidahku gatal ingin berucap. Tapi aku menahannya sekuat tenaga sampai ingin menangis rasanya. Karena aku tahu,
Disinilah tempatnya.
Jungkook akan dibuang.
Akankah aku juga dibuang bersamanya?
Tapi kemudian ayah menunjuk sesuatu di depan sana.
Aku mengintip dari balik badan ibu.
Sebuah cahaya kuning datang dari kejauhan. Sebuah gubuk tunggal beratap jerami.
Tbc
Sebenernya ini udah lama kutulis, tapi lupa mau ku publish😅
Soalnya seingetku udah, terus kaget pas ternyata belum😆Tapi yaudah sih, gada yg nungguin juga
Jadi update semena-mena😁Pokoknya, makasih udah bacaaa🙏🙏😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me [kth]
FanfictionAku, adalah domba yang di pelihara untuk di sembelih suatu hari nanti jika saatnya tiba.