BCC 5. OBROLAN DENGAN PAPI

4.2K 243 4
                                    

Manusia tidak akan pernah tahu, jodohnya siapa. Bisa jadi dia yang pernah menjadi masa lalu, bisa jadi dia yang sama sekali orang yang tak dikenal.

Kimora masih menangis di dalam pelukan papinya. Dia bingung, tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Sejak ultimatum perjodohannya dengan laki-laki yang bernama Anggara, meski telah mencari jawaban melalui sholat-sholat istikharohnya, keraguan masih mendomisi hatinya.

"Apa yang membuat kamu ragu?" setelah hampir lima belas menit tidak ada kata, akhirnya si papi memulai membuka pembicaraan. Zidan membiarkan Kimora nyaman dalam pelukannya.

Belum ada jawaban dari Kimora. Zidan masih mendengar suara sesenggukan Kimora. Dia pun juga merasa kaos bagian dadanya basah. Meski demikian Zidan masih tetap enggan untuk mengubah posisinya yang sekarang. Membiarkan Kimora meluapkan emosinya. Putrinya itu sangat jarang menangis di depannya bila tidak sedang dalam masa kesulitan memecahkan masalahnya. Selama ini, putrinya lebih memperlihatkan sisi tegar, dewasa dan mandiri.

"Jangan karena umur akhirnya kamu mau menikah. Niatkan kalau kamu ingin menikah karena Allah. Menikah adalah ibadah sunah yang paling lama jangka waktunya. Papi terserah kamu, sayang. Apapun yang kamu pilih, Papi tidak akan pernah marah." Zidan mencoba untuk memahami perasaan Kimora.

Bukannya malah reda setelah mendengar kebijaksanaan dari papinya. Tangisnya semakin menjadi. Kimora tahu, papinya selalu menjadi orang yang bijaksana dan tidak pernah lelah menjadi penasehat pribadinya.

Kimora semakin erat memeluk papinya.

"Apa Papi perlu bicara dengan mami kamu untuk membatalkannya?" tawar Zidan. Sebagai seorang ayah, dia tidak rela melihat putrinya bersedih hanya karena keegoisan para orang tua.

Kimora menggeleng. "Bu... bukan," bila dalam kondisi yang normal, Kimora pasti akan jijik dengan kelakuannya yang menyedot kembali ingus yang keluar mengiringi tangisannya. Tapi apa boleh buat, tidak mungkin juga dia menggunakan kaos papinya untuk menghilangkan cairan ingusnya.

"Lalu?" tanya Zidan.

"Kimora tidak tahu, Pi. Kimora bingung." jawabnya seraya menggelengkan kepala.

"Kalau kamu hanya bilang bingung, Papi enggak bisa kasih pandangan. Kamu tidak mau Papi bicara sama mami untuk membatalkan perjodohan ini, tapi kamu juga tidak ingin melanjutkannya."

"Ki... Kimora takut kalau tidak bisa ikhlas menerima."

Dengan pembawaannya yang telaten, Zidan terus-terusan mengusap kepala putrinya yang terbungkus jilbab rumahan. Sedangkan tangan yang satunya melingkar merengkuh tubuh Kimora.

"Kalau begitu, kamu berteman saja dulu. Kalau tidak cocok kamu bisa bilang sama Papi. Papi janji, Papi tidak akan memaksa kamu untuk menerima Anggara. Bagaimana?"

"Tapi mami... bibi... pasti akan kecewa seandainya Kimora menolak karena dengan alasan ketidak cocokan."

"Tidak masalah. Cobalah dulu untuk mengenal Anggara. Cocok atau tidak itu urusan belakang," Zidan menengahi. "Anggap saja ini masa penjajakan kamu dan dia. Cari tahu sebanyak-banyaknya info mengenai Anggara."

"Caranya Pi? Kimora kan belum kenal Anggara."

"Duh anak Papi ini terlalu polos. Namanya Anggara Paksya Laksmana. Di jaman yang serba instan, kamu bisa memulainya mencari di sosial media."

"Anggara Paksya Laksmana?"

"Kenapa? Kamu kenal sama dia?"

Kimora segera menggeleng. Dia berharap Anggara yang dimaksud bukan cowok di masa lalunya.

***

"Kamu melamun apaan sih? Jorok ya?" Tiara menjatuhkan bokongnya di pinggiran ranjang Kimora. Dia menyodorkan susu putih hangat tanpa gula. Kesukaan Kimora sekaligus kebiasaan sahabatnya. Minum susu sebelum melakukan aktivitas.

K I M O R A √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang