BCC 7. TEA HOUSE

3.8K 282 11
                                    

Meski sudah bertahun lamanya, kenyataannya kenangan yang pernah tercipta tak mampu hilang, meski hati sudah keras melakukannya.

Anggara dan Kimora duduk berhadapan. Salah satu dari mereka tidak ada yang ingin mengalah untuk membuka perbincangan. Sampai lima belas menit kemudian, pramusaji datang membawa pesanan mereka. Ah tidak, tepatnya pesanan Anggara untuk Kimora. Kenyataannya Anggara tadi langsung menulis makanan dan minuman untuk Kimora tanpa perlu repot menanyakan padanya. Kimora tidak memprotesnya. Untuk masalah makanan, Kimora tidak pernah pilih-pilih kalau dia sedang makan di luar. Beda lagi kalau maminya yang masak.

Kalau kalian tanya ke mana perginya mereka saat ini, bagaimana ceritanya mereka bisa duduk berdua di cafe, jawabannya saat ini mereka sedang menggiring para ibu-ibu ke mall. Tepatnya dipaksa oleh ibu-ibunya untuk ikut. Dan sesuai kesepakatan orang tua mereka pula, Anggara dan Kimora ditinggal. Mereka perlu waktu berdua. Dan akhirnya di cafe tea house inilah mereka berdua melipir jauh dari jangkauan orang tua.

"Terima kasih, Mbak," ujar Kimora kepada pelayan yang membawakan pesanan Anggara.

Kembali hening. Makanan yang siap disantap hanya menjadi obyek penelitian mereka berdua dikala sama-sama memilih diam.

"Makanlah," perintah Anggara. Dia sendiri juga segera memakan roti bakarnya. Anggara bersikap dingin. Sinar kebencian tidak bisa dia sembunyikan. Meski ini pertama kalinya dia dan Kimora kembali bertemu setelah bertahun-tahun lamanya menghilang dan memilih untuk tidak saling kenal, entah kenapa pengkhianatan terbayang lagi di pelupuk mata Anggara.

"Terima kasih," Kimora pun turut melakukan apa yang Anggara lakukan. Memakan nasi sambal bawang kulit ayam kriuk.

"Bukankah itu kesukaan kamu? Dan juga jus wortel," Anggara sengaja mengembalikan kenangan. "Iya. Kamu dan partner pengkhianat itu."

Kimora menatap Anggara. Ekspresi wajah laki-laki itu terlalu datar. Berbeda dengan sorot matanya yang tajam. Yang menatap Kimora tanpa berkedip. Mengudarakan aura permusuhan yang jelas. Di sana, di manik matanya, Kimora masih menemukan kemarahan dan kebencian Anggara.

Dengan keras Kimora berusaha untuk tidak terlihat terintimidasi akan keberadaan Anggara. Tidak terlihat kecil dan takut.

"Aku tersanjung. Rupanya Mas Angga masih menghafal makanan dan minuman kesukaan kami. Padahal sudah berapa tahun kita tidak bertemu?" Kimora menimpali omongan Anggara. Kalau tebakan hatinya benar, Anggara akan membalas setiap sakitnya dengan kembali menghadirkan makanan kesukaannya dan Andika bisa membuat Kimora jatuh, dia salah besar.

"Jangan berlebihan. Tuhan saja yang memberikan aku ingatan yang bagus. Termasuk bagaimana kalian mengkhianati dan membohongi ku," nada menjengkelkan Anggara ucapkan. Apalagi kalau bukan untuk membalas Kimora.

"Kalau Mas Angga masih marah, marah saja dengan aku. Jangan ke almarhum. Tidak baik mengata-ngatain orang yang sudah meninggal." Kimora berujar tegas. Sungguh dia tidak terima Andika masih di cap sebagai pengkhianat. Andika bukan seperti itu.

"Serius kamu masih membela dia?" Anggara mengernyit tidak percaya.

"Sampai kapan pun aku akan tetap bilang kalau Kak Andika tidak salah. Dia tidak pernah mengkhianati atau membohongi kamu. Oh tidak, mungkin kamu saja yang dulu terlalu keras."

Anggara mengerutkan keningnya. Terlalu keras? Tidak. Bukankah dia yang jadi korban mereka.

Kimora mengusap wajahnya lelah. Benar yang pernah dikatakan abangnya, Abidzar. Anggara terlalu sulit untuk disadarkan dari pikiran buruknya. Apa yang sudah menjadi kepercayaan hatinya, sulit bahkan tidak bisa diubah.

"Terserah kalau tidak mau percaya," geram Kimora karena Anggara tak kunjung mengomentarinya.

"Apa yang sudah kamu katakan sama mama?" tuduh Anggara dengan kejamnya. Sejak melihat Kimora, sudah sejak tadi dia ingin menyemprotkan pertanyaan yang mungkin akan terdengar seperti tuduhan yang kejam. Seperti itulah Anggara. Lidah tajamnya tidak akan bisa tinggal diam jika batas teritorialnya diusik. Apalagi, Kimora juga masuk ke dalam batas kerasnya. Kenapa dari sekian banyak yang bisa mamanya pilihkan, Kimora yang jadi pilihan mamanya. Kenapa juga mamanya bersahabat dengan bibinya Kimora. Kenapa Kimora yang mamanya maksud adalah Kimora, sang mantan yang mengkhianatinya. Kenapa? Kenapa harus Kimora?

"Ma.. maksud Mas Angga apa?" seakan tersengat lebah Kimora mendengar tuduhan Anggara. Yang benar saja dia menanyakan hal itu.

"Jangan berlagak sok polos, kamu tidak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang sering dijodohkan dengan ku. Kamu hanya ingin melanjutkan hidup enak. Apalagi setelah laki-laki yang kamu agungkan telah tiada."

Kimora menggeleng. Itu tuduhan yang terlalu menyakitkan.

"Kamu memanfaatkan kedekatan Bibi Najwa dan mama. Kamu memanipulasi dan mencuci otak mereka. Dengan berbekal wajah sok polos kamu, kamu mendekati mama. Dan selamat kamu berhasil membuat mama merecoki masa depan ku. Kamu tahu betul, terlebih dari pengalaman kamu yang menjadi anak dari seseorang yang memiliki kekuasaan, bagaimana masa depan kamu? Terjaminkan?. Dan sudah menjadi rahasia umum, orang-orang sepertiku yang memiliki masa depan yang cerah. Setidaknnya secara finansial. Kami lebih bonefit dari laki-laki lainnya." desis Anggara.

Deeerrrr...

Bom hiroshima jatuh di hati Kimora. Jadi Anggara menilai Kimora sehina itu? Jangankan mengincar pangkat atau apalah yang cowok itu katakan, memikirkannya saja Kimora tidak pernah. Dasar.

"Iya, kamu tidak ada bedanya dengan anak pejabat lainnya." cibir Anggara menghina bahkan merendahkan Kimora.

"Cukup!" Kimora mengebrak meja. Para pengunjung yang lainnya pun dibuatnya kaget. Banyak mata yang akhirnya tertarik untuk melihat meja mereka. "Mas Angga tidak memiliki hak untuk menghina aku sebelum mengetahui yang sebenarnya terjadi," butir halus yang Kimora tahan sejak tadi mendesak kelopak matanya juga. Tangis itu pecah. "Dari awal aku tidak pernah menyangka kalau Mas Angga lah orang yang dijodohkan dengan aku."

"Bohong!" potong Anggara. Kejudesan yang dia perlihatkan hanya untuk menutupi keprihatinan hatinya melihat Kimora menangis. Sebrengsek itukah lidahnya. Dua hatinya kini tengah berperang. Mengangsurkan tissu atau hanya mempertontonkan dan membiarkan Kimora dalam keadaan menangis seperti sekarang.

"Kalo Mas Angga tidak setuju dengan perjodohan ini, Mas Angga boleh mundur dan menolak. Karena aku sendiri juga belum mengiyakan. Permisi," Kimora secepat yang dia bisa melangkah meninggalkan tea house. Derai air matanya semakin deras. Toilet, Kimora membutuhkan tempat itu.

Anggara masih belum memutuskan untuk beranjak.

Puas atau kah menyesal. Bukankah sebagai seorang lelaki dengan ego yang tinggi harusnya dia terpuaskan setelah menahan kesakitan bertahun lamanya?

Kimora dan Rusliana. Mereka tidak ada bedanya. Perempuan penghancur hatinya.

***

Dalam perjalanan pulang, Kimora lebih banyak memilih diam dan tidak memperlihatkan sakit hatinya terhadap ucapan Anggara. Dia tidak ikut menimpali obrolan tiga perempuan yang tengah duduk di bangku tengah mobil Anggara. Binar kebahagiaan terpancar dari manik mata mereka. Entah karena terpuaskan akan kegiatan belanja mereka atau kah karena dua insan manusia yang mereka jodohkan sudah bertemu. Sedangkan Anggara sendiri juga memilih fokus untuk menjadi sopir.

"Apa kalian sudah memutuskan sesuatu setelah kami tinggal tadi?" Zahra, lidahnya tidak lagi bisa menahan gatal untuk tidak menanyakan kepada mereka, Kimora dan Anggara.

"Kami perlu waktu," Anggara yang menjawab. Kepalanya menoleh kebelakang sebentar memperlihatkan senyum sebelum kembali fokus pada jalanan yang padat tapi masih lancar.

"Berapa lama?" tuntut Zahra. Ibu satu ini sudah tidak tahan untuk segera menghalalkan mereka. "Mama tidak ingin kalian lama mengenal. Terutama kamu, Angga. Tidak ada penolakan untuk kali ini."

"Ma..."

"Apa? Tidak!" tolak Zahra yang sangat tahu maksud dari acara merajuk putranya. Zahra yakin, segudang ide telah muncul di otak putranya untuk kembali menolak perjodohan ini. "Jangan sampai kamu menyesal nantinya karena kabanyakan memilih. Mama berharap kamu yang menjadi menantu Mama, Kimora." Kini Zahra mengedarkan pandangannya ke Kimora, yang duduk di samping Anggara.

Menjadi menantu, permintaan ini sudah puluhan kali terlontar dari bibir Zahra dalam seharian ini.

"Mama serius, meski hal terburuknya Anggara tetap menolak kamu, sayang. Tetaplah berjuang untuk meluluhkan hatinya. Setidaknya demi Mama, kamu mau melakukannya kan?" Tanya Zahra terang-terangan kepada Kimora di depan Anggara.

"Beri kami waktu ya, Ma?" Kimora hanya mengulang kalimat Anggara.

**

K I M O R A √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang