enam

133 13 0
                                    

Hembusan angin begitu menusuk jaringan epidermis. Tidak ramah sama sekali. Meringis kala menyapa, tersenyum pedih saat teringat. Kicauan-kicauan burung tak lagi indah. Perasaan hati yang membuncah diiringi dengan kabut gelap. Rasa takut menyelimuti, ketidakpercayaan menghantui. Inikah perasaan kecewa? Atau cemburu? Aku jatuh cinta lagi padanya hatinya berkecamuk pilu.

Hinata duduk merenung di teras rumahnya. Menghadap keindahan taman. Matanya menatap kosong kearah bunga yang tak lagi indah di musim dingin ini. Hatinya meringis. Begitu egois ketika meminta pasangannya memberikan waktu untuknya tidak ini hal yang wajar. Hinata hanya meminta Naruto untuk memberikan sedikit waktu. Mengirimi pesan atau telfon atau email atau apapun itu. Suasana hatinya begitu buruk, otaknya tak dapat menyerap dengan benar, dan dia benar-benar kecewa.

Gelisah, kehampaan, kesal, dan amarah. Kata-kata itu tepat mewakili sikapnya saat ini. Tanganya ia tumpuk satu sama lain, sesekali ia remas tangan itu, bibirnya sedikit bergetar. Sungguh ini baru yang pertama untukknya.

"Hinata. Maafkan aku"

Sudah belasan kali kata itu terlontar dari bibir coklatnya. Hinata tetap bergeming. Tak menatap mata yang memohon itu. Basah pipinya, namun membuat ia berbalik menghadap prianya. Baru kali ini ia benar-benar kecewa.

"Beri aku kesempatan. Kumohon. Maafkanlah aku" kali ini Naruto berlutut

"Semua yang kau dengar. Aku akan menjelaskannya. Beri kesempatan padaku. Kumohon"

Hinata berbalik. Wajah sembabnya ia pajang pada wajah memelas Naruto. Tak ada keraguan, aku perlu penjelasan darinya kata itu terdengar begitu keras dalam jiwanya. Hatinya menjerit ingin memaafkan. Namun tubuhnya begitu kaku. Hingga akhirnya ia menyerah dan tubuh itu bergerak mantap. Menatap mata secerah langit. Mencari-cari kebenaran didalamnya. Keduanya mengalir dalam penjelasan terarah. Sedikit berdebat awalnya, namun sebagai laki-laki, Naruto tampak siap dengan sosoknya. Ia mengambil alih perhatian Hinata. Mencurahkan segala kejujuran yang telah terjadi. Hinata mengerti. Naruto bersyukur. Keduanya hangat dalam pelukan kerinduan yang selama ini begitu membelenggu.

"Aku tidak bisa tanpamu. Sungguh. Begitu sunyi disini. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu"

"Jangan hadirkan perpisahan dalam pikiranmu. Selalu percaya padaku. Aku tidak akan pernah mengkhinatimu. Percayalah"

Hinata mempererat pelukannya pada pinggang Naruto.

katamu selalu manis. Membuatku tak bisa berkutik. Aku selalu bersandar pada kata. Tak terelakkan betapa aku sangat mencintaimu. Betapa aku sangat menginginkan hadirmu dalam hidupku. Kau sosok yang menaungiku, memberikan rasa aman untukku. Sosok yang memujaku. Sosok yang aku percaya untuk kuserahi kehidupanku.

Keduanya larut dalam kehangatan kerinduan yang begitu luas dan dalam. Cintanya yang tak terbatas melampaui rasa kecewa yang dirasakan oleh Hinata. Begitu ikhlas memaafkan.

Puluhan purnama telah berlalu. Kehangatan keluarga Naruto bertambah. Boruto tumbuh begitu cepat. Menjadi anak laki-laki yang manis, aktif, dan cerewet. Usianya menginjak tiga setengah tahun. Berbicaranya sangat fasih, ia belajar mengendarai sepeda. Takut-takut, namun Hinata memberikan dukungan dan semangat agar dia percaya dan yakin pada kemampuannya. Naruto masih sibuk mengurusi urusan kantor. Sebagian saham keluarga hyuga dialihkan kepadanya. Ia telah mendapatkan kepercayaan dari kepala hyuga, ayah Hinata.

"Boruto, awas!"

Ban sepeda itu terus berguling, menabrak sebuah batu yang cukup untuk menggelincirkan ban sepeda. Jatuhpun tak terelakkan. Bagian kepala dan lututnya aman. Namun lengannya tergores oleh aspal yang kasar. Boruto kecil yang menginginkan banyak perhatian menangis.

"Sakit"

"Mama cium ya biar lukanya cepet sembuh"

"Emang bisa langsung sembuh ma?

Hinata tersenyum memandang kepolosan putranya "tidak akan sakit lagi"

Boruto mengangguk dan tidak mengeluh lagi. Perih dikulitnya tak ia rasakan lagi.

...


Suasana kantin kantor sangat riuh pada jam-jam seperti ini. Lalu lalang karyawan yang memilah menu kesukaan mereka. Beberapa membentuk kelompok di meja putih itu.

"Kudengar kau baru pindah hari ini?"

"Seperti yang kau lihat"

"Kabar kedatanganmu telah menyebar"

"Sebesar itukah?"

"Tidak. Hanya divisi kita saja"

"Kita. Satu divisi?"

"Ya"

"Aku terlalu sibuk dibagian HR hari ini. Maaf"

"Tak perlu. Ayo"

Mereka berjalan melewati meja-meja yang telah terisi. Menuju bagian tengah ruangan. Karena disana menyisakan meja yang kosong. Tak berpenghuni. Keduanya menyantap sajian kantin yang terasa enak di indra pengecap mereka.

Sasuke, Naruto, shikamaru, dan lee berjalan masuk menuju meja kosong yang telah disediakan khusus untuk mereka. Pada pejabat di perusahaan itu. Berjalan tegak dengan dada membusung, postur tubuh yang sangat indah layaknya model. Mengenakan setelan terbaik dilengkapi dengan pantofel yang mengkilat.

"Siapa itu?" Sakura menatap kagum sosok tampan berambut gelap. Dia hanya tahu satu nama. Naruto. CEO perusahaan ini.

"Maksudmu?"

"Itu. Yang berambut gelap"

"Ohh. Sasuke. Direktur disini. Kau tertarik?"

"Dia tampan"

"Kurasa kita akan bersaing mendapatkan hatinya"

"Kita?"

"Mungkin lebih" ino menjelaskan betapa populernya sasuke. Sikap coolnya yang begitu memikat dan tatapan tajamnya yang membuat hati wanita meleleh. "Dia sangat populer diantara karyawan wanita. Dan dia masih available" kata itu yang patut digaris bawahi oleh para hawa.

Sakura menatap kagum pada satu sosok. Sasuke. Dan dia merangkum wajahnya pada sebingkai hati. Mengemasnya dengan apik agar tidak rusak. Ia pulang dengan perasaan rindu. Menanti esok untuk melihat kembali sosok sasuke. Sakura yang jatuh cinta.





With love : 3A


reasonWhere stories live. Discover now