Penantian 8

14.3K 1.1K 44
                                    

“Apa?!” seruku cukup kencang dengan kening berkerut, membuat beberapa kepala menoleh. Mereka menatap penasaran. Aku melirik sekilas, berharap mereka segera kembali ke urusan masing-masing. Jangan sampai aku dan Kak Radit menjadi tontonan.

Sepertinya dia juga terkejut dengan reaksiku. Alisnya bertaut. Mungkin Kak Radit berharap aku akan senang mendengar pernyataannya.

Dulu mungkin iya. Tapi sekarang ….

“Mak-maksud Kakak?” tanyaku ragu dengan suara lebih pelan.

“Kakak akan melamarmu,” ucapnya penuh keyakinan. Matanya bersinar lembut menatapku dalam.

Aku menggigit bibir pelan. Menahan air mata yang menggenang.

Ya Tuhan. Apa yang telah kulakukan?

Kenapa jadi kacau seperti ini?

“Mila .... “ panggil laki-laki dihadapanku lembut. “Maaf kalau Kakak memperlakukan kamu tidak pantas selama ini.”

Air mataku menetes. Masih berusaha menahan isak, aku menggeleng pelan. Tidak ada kata yang keluar dari lisan.

“Kakak akan bicara ke Ibu. Setelahnya, Kakak akan datang ke rumahmu. Secepatnya. Menemui Ayah,” jelas Kak Radit. “Kakak tidak akan membuatmu menunggu lebih lama. Percayalah.”

Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir genangan di pelupuk.

Kenapa baru sekarang?

Saat aku sudah menetapkan hati memilih laki-laki lain. Sekarang bagaimana caraku menjelaskannya?

Aku menarik napas berkali-kali seraya mengalihkan pandangan ke makananan di meja, berusaha mengusir debaran.

“Mila ..., “ panggil Kak Radit. “Kenapa?”

Dia tahu ada yang aneh dengan reaksiku setelah mendengar penjelasannya. Aku berusaha tersenyum seraya menatapnya.  Tapi tidak bisa. Dada terasa sesak. Aku kembali menggigit bibir, berusaha menahan sesuatu yang mendesak keluar.

“Maaf .... “ ungkapku pelan dan serak. “Maaf .... “

Hanya itu yang keluar dari lisan. Tidak sanggup berkata apa-apa.

“Mila .... “

Kak Radit tahu ada yang salah. Dia bisa membacaku dengan baik.

“Kamu nggak apa-apa?” Dia meraih tanganku yang terjalin di atas meja. Cepat aku menarik dan menyembunyikannya di pangkuan.

Keningnya berkerut. Matanya bertanya ada apa. Dia sedang menerka sesuatu.

Aku tidak bisa menatap mata itu terlalu lama. Kualihkan pandangan seraya  berusaha menyusun kalimat di kepala. Apa yang akan kukatakan padanya?

Maaf, aku sudah taaruf dengan orang lain dan memilih dia, bukan kamu? Terlalu kejam rasanya.

“Kamu tidak senang?” tanyanya hati-hati.

Mataku kembali menemukan wajah Kak Radit yang terlihat harap-harap cemas. “A-Aku .... “

“Kamu tidak berubah pikiran, kan? Kamu janji akan menunggu Kakak,” tuntutnya. “Kita sudah merencanakan pernikahan ini sejak lama .... “

Debaran di dada semakin kuat. Aku menarik napas panjang. Mencoba mengatur suaraku agar tidak terdengar bergetar. “Sudah terlalu lama .... “

Mata itu terlihat cemas. Dia menggeser kursinya mendekat. Tanpa aba-aba dia meraih tangan dalam pangkuanku. Aku menjengit, tidak siap dengan reaksinya. Tidak bisa menghindar. Genggamannya erat.

PENANTIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang