Penantian 1

39.1K 1.5K 83
                                    

"Taaruf doang, Mila. Kenalan. Nggak langsung nikah juga, kali," cerocos Ratu, sahabatku, dengan semangat menggebu. Dia menaikkan kaki ke sofa dan duduk bersila. Wajahnya serius menatapku.

Aku yang duduk di sampingnya mendengus pelan. Ini sudah kesekian kali perempuan berhijab panjang itu menyodorkan kandidat calon suami . Semua kutolak. Aku punya alasan sendiri. Bukan karena takut menikah atau apa.

Usiaku sudah cukup untuk menikah, 24 tahun. Punya pekerjaan bagus. Dan ... penampilanku tidak jelek-jelek amat. Bayangkan Vanessha Prescilla berhijab. Kira-kira seperti itu. Well, mungkin tidak persis, tapi mendekati. Dilihat dari jarak seratus meter. He he.

"Temen pengajian Mas Rama," lanjut Ratu membawa-bawa nama suaminya.

Yah, benar sekali. Perempuan yang sudah menjadi tetanggaku sejak kami duduk di bangku sekolah dasar ini sudah menikah. Setahun yang lalu tepatnya. Sekarang pekerjaannya adalah mencarikan jodoh untukku. Ratu menganggap aku terlalu santai dalam mencari pasangan hidup. Padahal tidak juga. Hanya belum waktunya.

"Baik orangnya," promosi Ratu.

"Ya iyalah baik. Masa jahat," balasku tidak tertarik. Mataku menatap layar televisi yang menyiarkan acara masak-memasak.

Jangan salah sangka. Aku menyayangi Ratu. Walau hampir bosan bertemu dengannya setiap hari. Tidak di rumah, tidak di sekolah, dan itu berlangsung hingga SMA. Syukurlah kami tidak satu kampus saat kuliah. Bisa-bisa aku tidak punya teman karena ke mana-mana selalu berdua dengannya.

"Ish!" Ratu menepuk bahuku pelan, membuatku meringis pelan. Sakit.

Tadi pagi Ratu memintaku ke rumahnya. Rumah orang tuanya, sih. Dia dan Mas Rama tinggal di sini. Tante Sarah, mamanya Ratu, kesepian sejak ditinggal Om Ari, suaminya. Om Ari meninggal terkena serangan jantung dua tahun yang lalu. Menurutku memang sebaiknya Tante Sarah tidak tinggal sendiri. Apalagi Mas Raja, kakaknya Ratu, sedang kuliah S2 di luar kota.

"Mas Rama mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Hari libur begini harusnya dia ada di rumah. "Kok nggak kelihatan?"

"Futsal," jawab Ratu seraya memajukan bibirnya dengan raut kesal.

"Cieeeh, yang ngambek ditinggal suami tercinta futsal," ejekku.

"Ish!" Kali ini Ratu mencubit pinggangku. Aduk, Mak. Perih. Belum sempat kubalas, terdengar salam dari luar.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Aku dan Ratu menoleh ke pintu. Sosok Mas Rama muncul di sana. Ratu langsung berdiri menyambut suaminya dengan wajah semringah. Huh, bukannya barusan dia merasa kesal karena ditinggal futsal? Dasar tidak konsisten!

Aku bangkit berdiri menuju ruang depan. Sudah waktunya pulang. Sepertinya sahabatku itu sedang ingin berdua-duaan dengan suaminya. Wajar sih, ini kan hari libur. Harusnya memang dihabiskan bersama pasangan.

"Aku pulang, ya," sahutku seraya menghampiri Ratu yang langsung melepaskan pelukan suaminya.

"Loh, kok pulang?" tanya Mas Rama. "Nggak apa-apa kalo mau ngobrol dulu. Saya masih harus bersih-bersih."

"He he. Nggak apa-apa, Mas. Mau pulang dulu, tadi udah janji sama Ibu mau bantu masak," elakku.

"Ooo ..., " tanggap laki-laki itu seraya mengangguk.

"Bye, Ratu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

"Mila!" panggil Ratu, membuat langkahku terhenti dan menoleh ke belakang. "Jangan lupa dipikirin yang tadi ya," serunya cukup keras. Bagus sekali, biar semua tetangga mendengar.

PENANTIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang