Penantian 9

15.3K 1.2K 45
                                    

Satu setengah tahun kemudian.

.
Aku menatap bayi mungil dalam gendongan seraya mencoba membuatnya tersenyum dengan membuat wajah lucu. “Halo. Assalamu’alaikum, Sayang. Udah mamam, ya? Udah kenyang?” Senyum di wajahku mengembang sempurna dengan mata bependar. “Masya Allah. Cantiknya salihah.”

Bayi berusia satu bulan itu hanya menatapku tak berkedip. Membuatku semakin gemas dan mencium pipinya yang gembil.

“Mila.”

Sebuah penggilan membuatku menghentikan aksi dan menoleh ke suara. “Kenapa?” tanyaku merasa terganggu. Masih belum puas menciumi wajah si kecil.

“Hamasah dibawa keluar. Pada nanyain.” Ratu memberi gestur pada bayi dalam pelukanku.

Aku mendecak kesal. Masih ingin berlama-lama dengannya. “Baru juga sebentar,” rajukku seraya bangkit dari kursi menyusui yang terdapat di dalam kamar bayi.

Ratu tersenyum mengerti. “Kan bisa nanti lagi,” bujuknya.

Aku menyerahkan Hamasah pada ibunya. Hari ini keluarga besar Tante Sarah dan rahimahullah Om Ari sedang berkumpul. Syukuran lahirnya cucu pertama mereka, Hamasah.

Ratu keluar kamar dengan Hamasah dalam gendongan. Aku mengikutinya.

Di luar ramai. Aku tidak mengenal semua keluarga Ratu. Ditambah keluarga Mas Rama. Malas juga bergabung kalau tidak ada yang kenal.

“Kak Fatih sudah datang,” sahut Ratu seraya memberi tanda dengan matanya. Aku mengikuti arah pandang Ratu ke ruang depan. Benar saja. Laki-laki itu sudah datang. Dia memakai sirwal khaki dipadu dengan kemeja dongker bermotif garis yang dikeluarkan. Terlihat sedang berbincang dengan Mas Rama.

Tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Aku tidak sempat menghindar.

Dia tersenyum. Akupun balas tersenyum. Setelahnya dia kembali ke Mas Rama.

Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan. Ratu sedang membawa Hamasah untuk diperkenalkan ke keluarganya. Aku menyingkir ke dapur, mencari sesuatu untuk di makan.

“Sudah makan?” tanya sebuah suara.

“Eh, belum, Tan. Ini baru mau,” jawabku pada Tante Sarah yang berdiri di samping.

“Ya udah, makan yang banyak, ya. Tante tinggal dulu,” ucap Tante Sarah seraya menepuk bahuku ringan dan berlalu.

Aku mengambil piring. Banyak sekali makanan di meja. Ada sate kambing, sate ayam, lontong, gulai kambing, sop ayam, perkedel, tumis brokoli, dan semur. Belum lagi kue-kue dan minuman. Lengkap.

Aku mengambil lontong dan sate ayam.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam,” jawabku seraya menoleh.

Kak Fatih.

“Eh, Kak, udah makan?” tanyaku basa-basi.

“Iya, nih. Tadi di suruh Rama makan,” ucapnya seraya mengambil piring di meja.

“Dini mana?” tanyaku seraya mengedarkan pandangan.

“Ada di rumah. Lagi nggak enak badan. Masih mual-mual.”

“Ooo ... masih suka mabok, ya?”

“He he. Iya. Biasalah, baru sebulan.”

Aku mengangguk tersenyum.

Dini. Istri Kak Fatih. Sekarang sedang hamil muda. Wajar kalau masih suka mual.

“Kapan, nih, nyusul?” canda Kak Fatih seraya membawa piring berisi makanan ke tempat duduk yang kosong. Aku mengikutinya.

PENANTIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang