3: Perfect Stranger

3 1 2
                                    

Nadi mengerjapkan matanya dengan pelan. Sinar lampu yang tiba-tiba menyorotnya, membuat penglihatannya sedikit mengabur. Saat sudah sepenuhnya sadar, ia berusaha mendudukan dirinya di kepala kasur.

Nadi mengamati seluruh ruangan itu. Ornamen yang hampir sepenuhnya berwarna gading, menyapa matanya. Kasur berukuran king size ini berbalut dengan seprei berwarna broken white.

Ia lalu mengungkap selimut, dan melihat pakaiannya yang sudah terganti dengan kaus putih besar ditubuhnya.

Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Menampilkan sesosok lelaki dengan menenteng plastik hitam yang menguarkan wangi sedap. Seketika cacing diperutnya berbunyi.

"Sudah bangun rupanya. Maaf, tadi saya keluar sebentar buat beli makanan. Kayanya kamu belum makan, makanya bisa sampe pingsan." ucap lelaki itu, sambil meletakkan makananan yang dibelinya di atas nakas.

Nadi berdeham, berusaha menjernihkan suaranya. "Terima kasih. Tapi sebelumnya, biarkan saya bertanya semua yang terjadi selama saya pingsan tadi. Tolong jangan menyembunyikan apapun." lelaki itu mengangguk, lalu duduk di sofa yang ada diseberangnya.

"Jadi... Dimana saya jatuh pingsan, sampai anda harus menolong saya?" tanya Nadi dengan suara pelan. Lelaki itu tersenyum, lalu kemudian tertawa. "Harus senormal itu kah bicara sama saya? Walaupun umur saya 20 tahun, tapi saya masih belum tua-tua amat." ucap lelaki itu dengan tatapan jenaka. Nadi mendengus. "Lo juga pake 'aku-saya'ke gue." desis Nadi.

Lelaki itu lalu terkekeh kecil karena mendengar ucapan gadis didepannya itu, lalu kemudian mulai melanjutkan ucapannya. "Jadi, waktu saya berjalan setelah membeli makanan untuk peliharaan saya, saya melihat kamu sudah pingsan di halte bus. Pertamanya saya pikir kamu murid yang bolos, lalu tertidur di halte. Ya saya cuek aja. Namun saat berjalan melewati kamu, tiba-tiba saja kamu terguling ke bawah." Nadi yang mendengar penjelasan pria itu, mengangguk. Lalu menuntutnya untuk melanjutkan ceritanya lagi.

"Karena saya bingung harus bawa kamu kemana, saya bawa kamu ke apartemen saya. Maunya saya cuek saja, tapi karena saya orang yang terdidik, akhirnya saya bantu kamu. Oh iya, tenang saja. Tadi saya menyuruh jasa layanan kamar untuk menggantikan pakaianmu yang basah. Sekarang seragam mu sedang di laundry."

Nadi menghembuskan napasnya lega. Lalu berdeham, dan tersenyum berterimakasih. "Terima kasih. Saya berutang budi sekali sama kamu." lelaki itu hanya mengangguk. Kemudian ia bangkit, dan membawakan Nadi segelas air dengan sebutir obat pereda demam. "Diminum. Agar tidak flu nanti." ucapnya sambil menyodorkan obat pada Nadi. Nadi lalu meminumnya. Setelahnya, ruangan kembali sunyi.

Nadi merasa canggung dengan suasana didalam ruangan yang luas ini. Akhirnya ia buka suara.

"Ngomong-ngomong, kita belum kenal satu sama lain." ucap Nadi hampir seperti bisikan. Lelaki itu, yang sedang serius mencari saluran televisi, memandang Nadi. Lalu kembali menatap layar tv didepannya.

"Nama saya Arvon. Arvon Ganendra." ucap lelaki itu dengan suara baritonnya.

Nadi mengangguk. Lalu, lelaki bernama Arvon itu membalikkan kepalanya menatap Nadi. "Kalau kamu?"

Nadi bergerak gelisah ditempatnya. Belum pernah ia ditatap seintens itu dengan lelaki. "Na-Nadita. Nadita Davanti."

Arvon mengangguk. Lalu kembali menonton siaran tv. Nadi menghembuskan napasnya lega. Ia kira detik itu juga, dirinya akan diterkam oleh orang yang baru dikenalnya itu.

Nadi tiba-tiba teringat sesuatu. Ia berusaha mencari jam di ruangan itu. Ia melihat jam dinding yang tergantung tepat diatas televisi. Jam menunjukan pukul delapan. Kemudian ia berusaha bangkit dari kasur.

Arvon yang menyadarinya, langsung bangkit dan memapahnya menuju sofa. "Aku harus pulang sekarang. Dimana barang-barang ku?" tanya Nadi sambil memegangi kepalanya yang berdenyut karena terbangun dengan tiba-tiba.

Arvon segera mengambil tas ransel milik Nadi. "Ini tas mu. Isinya aman. Biar aku yang mengantar mu. Ini sudah malam. Tidak baik anak remaja berjalan sendirian."

Nadi menggeleng berusaha menolak. "Tidak usah. Aku sudah banyak merepotkan." Arvon tersenyum tipis, lalu beranjak dari hadapan Nadi. Kemudian ia kembali dengan sebuah jaket ditangannya. "Pakai ini. Saya tidak menerima penolakan."

Dengan terpaksa, Nadi mengenakan jaket jersey yang dibawakan Arvon padanya.

Mereka pun turun ke lantai lobby. Sebelumnya mereka ke tempat jasa laundry dulu untuk mengambil seragam milik Nadi.

Mereka pun menembus jalanan kota Bandung tanpa banyak bicara. Hanya alunan lagu milik Rihanna yang memenuhi mobil itu.

Mobil Fortuner Putih itupun sampai di rumah Nadi.

"Terima kasih udah nganterin." ucap Nadi tulus. Arvon tersenyum samar dibalik kemudinya. "Tidak masalah." Nadi mengangguk, lalu turun dari mobil itu. Sebelum Nadi menutup pintu mobil, Arvon memanggil Nadi dengan nada sedikit penasaran. "Rumah kamu gelap sekali. Apa ada orang didalamnya?"

Nadi mengerutkan alisnya samar. "Apa kamu perlu tahu itu?"

Arvon berdeham canggung. Lalu kemudian menggeleng. "Maaf sudah bertanya seperti itu."

Nadi tersenyum mengerti, lalu menutup pintu mobil itu dengan perlahan. Arvon menurunkan kaca mobilnya. "Jangan pingsan lagi disembarang tempat. Siapa tau nanti bukan orang baik-baik yang menolong kamu."

Nadi mengangguk. "Iya. Terima kasih. Ini untuk yang terakhir kalinya." Arvon mengangguk. Lalu mulai menjalankan mobilnya, menjauh dari rumah itu.

Nadi pun membuka gerbang, lalu menguncinya dengan rapat.

~~••~~

Prabha gusar. Ia bingung harus menghubungi siapa lagi untuk menanyakan keberadaan Nadi.

Saat bel pulang sekolah sudah berbunyi, Prabha masih harus mengurusi sesuatu ke ruang guru. Ia sampai lupa waktu, dan melupakan janji mengantar Nadi pulang, dan ia pun lupa untuk mengabari Nadi sebelumnya.

Sudah satu jam berlalu, akhirnya Prabha menyelesaikan urusannya. Ia berlari menuju parkiran sekolah, dan mengendarai vespa nya dengan cekatan menuju halte bis tempat ia menyuruh Nadi untuk menunggunya.

Saat tiba disana, tidak ada satupun keberadaan Nadi disana. Ia bingung, padahal bel pulang sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Prabha menelpon Nadi, namun tak diangkatnya. Akhirnya ia menghubungi teman-temannya. Mereka bilang, Nadi sudah pulang mendahului saat jam istirahat pertama selesai, dengan alasan ada suatu urusan yang mendadak.

Prabha pun mencari Nadi ke rumahnya. Namun hasilnya pun sama. Tak ada satupun tanda bahwa Nadi ada disana. Ia semakin was-was. Bayangan bahwa Nadi mengalami suatu hal yang buruk pun terlintas dibenaknya.

Akhirnya ia memilih menunggu Nadi di depan rumahnya. Sampai larut pun, ia tidak mengganti pakaiannya. Ia tetap menunggu di teras rumahnya, berharap Nadi akan baik-baik saja.

Sebuah mobil berhenti didepan rumah Nadi. Prabha yang saat itu mulai terkantuk-kantuk, akhirnya tersadar kembali. Ia melihat dengan seksama. Ternyata itu Nadi!

Nadi turun dari mobil itu. Dengan pakaian seragamnya yang sudah terganti. Prabha semakin bingung saat melihat seorang lelaki dibalik kemudi itu. Setahunya, Nadi hanyalah anak tunggal.

"Iya. Terima kasih. Ini untuk yang terakhir kalinya."

Ia melihat Nadi tersenyum dengan tulus. Jenis senyuman yang mampu menenangkan siapapun. Senyuman itu biasanya ia lontarkan pada orang terdekatnya saja. Ia semakin penasaran dengan orang didalam mobil itu.

Lalu mobil itu bergerak pergi meninggalkan kompleks perumahan.

Prabha hampir memanggil Nadi, kalau saja ia tidak melihat raut wajah lelah Nadi. Ia langsung tidak tega untuk memanggilnya. Akhirnya ia membiarkannya memasuki rumahnya.

"Besok ajalah gue tanya Nadi."

Prabha pun beranjak dan masuk kedalam rumahnya.

Let Me Save YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang