Euphony Pagi

62 5 0
                                    

Hidup itu keras,
Ketika mempertahankan sesuatu yang semu namun kau yakini.

------------------------------

Yogyakarta, 1 Mei 2010

"Bang!!"
Wanita dengan rambut tergerai indah itu melambaikan tangan pada angkot yang lewat. Sudah 1 jam lamanya ia menunggu angkutan umum di halte. Selama itu, hanya ada 2 atau 3 angkot saja yang lewat dan semua angkot itu penuh sampai belakang. Angkot menjadi seperti sangat langka.

Ia menghembuskan nafas berat. Hari semakin sore saja. Dedaunan di kiri kanan halte itu berjatuhan tertiup angin sore yang terasa menyejukkan. Ia mengeratkan jaket abu-abu yang digunakannya.

"Udahlah dek Nara, pulang sama abang aja. Kalau nungguin angkot mah, nggak bakal ada lagi" ucap laki-laki yang datang ke halte itu sambil memarkir motornya didepan.

"Kenapa gitu, bang?" tanya wanita itu.

"Soalnya para sopir angkot sedang demo."

"Oh gitu ya, bang. Oke deh. Terima kasih informasinya." wanita itu berlari meninggalkan laki-laki yang masih berdiri di halte dengan tangan menyodorkan helm. Pasalnya ketika ia menyodorkan helm, wanita itu langsung beranjak pergi.

Elnara Geraldine.
Wanita blasteran Jerman yang sekarang hanya hidup berdua dengan ayahnya. Ia tidak tahu dimana ibunya berada. Setiap kali ia menanyakan hal itu pada ayahnya, tak pernah ada jawaban. Ayahnya diam, bahkan tak memperdulikan Nara seharian jika ia membahas tentang ibunya.

Nara sudah biasa hidup seperti ini dari kecil. Melakukan aktivitas sehari-hari yang seharusnya merupakan tugas seorang ibu. Bangun pagi, menyapu rumah, membuat sarapan untuk dirinya dan ayah, pulang sekolah masak untuk makan siang, sore menyapu lagi dan mengepel. Begitu setiap hari.

Ayah mampu menyewa pembantu, bahkan 5 pembantu pun mampu. Namun ayah bilang, mereka hanya hidup berdua dan Nara satu-satunya anak ayah. Jadi Nara harus mandiri. Hidup itu keras. Jika Nara tak mandiri dan hanya mengandalkan apa yang ayah punya, saat ayah tak ada Nara tak bisa apa-apa. Begitulah singkatnya alasan bijak ayah tak menyewa pembantu.

Nara paham. Paham sekali. Ayah sangat menyayanginya. Dari ia belum mengerti dunia, ayah yang selalu ada untuk mengajarinya. Mengajari tentang hidup tak harus selalu mengikuti aturan dunia. Karena persepsi dan karakter setiap orang berbeda, tak mungkin aturan itu bisa mengatur semuanya.

Nara mempunyai 2 sahabat. Egit dan Laras. Mereka berteman sejak kecil karena kebetulan rumah mereka berdekatan. Dari SD sampai SMA, mereka selalu bersama dan sekolah di tempat yang sama.

Laras seorang Jawa tulen. Wanita yang cantik namun judes yang merupakan anak dari Kepala RT di desa mereka. Orangtuanya masih lengkap, jadi Laras terbiasa hidup nyaman. Ada pembantu yang melakukan pekerjaan rumah sehingga Laras tak perlu membuat tangannya kasar dengan melakukan pekerjaan rumah itu. Namun hal itulah yang mungkin membuat Laras sedikit egois, karena dirumah keinginannya selalu terpenuhi sehingga ia tak mau kalah dan tak mau mengalah.

Egit juga seorang Jawa tulen. Memiliki hidung mancung dan kulit hitam manis. Dia anak yang nakal (jika bertemu dengan teman-teman lakinya). Tapi kalau hanya bertiga dengan Nara dan Laras, Egit seperti pelindung yang nakalnya luntur seketika.

Hal yang paling mereka sukai adalah membantu mbah Paiman, seorang buruh tani tua yang hidup seorang diri. Istri mbah Paiman sudah meninggal. Mbah Paiman memiliki seorang anak laki-laki yang sejak 10 tahun lalu merantau ke Jakarta dan sampai sekarang belum pernah pulang bahkan sekedar menengok keadaan ayahnya. Jadi sekarang mbah Paiman menghidupi dirinya sendiri, menjadi buruh tani di sawah milik pak RT.

U N V E R E I N TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang