Laras marah

15 1 8
                                    

Apapun itu, jika kau menganggapku maka kau akan menghargaiku

-----------------------------

Setelah pengakuan Laras kemarin, Nara menjadi bingung akan bersikap seperti apa. Nara ingin menjadi sahabat yang baik, ketika Laras bercerita ia bisa menanggapi dengan baik, ketika Laras meminta solusi ia bisa memberikan solusi yang tepat. Namun jika yang mereka bahas adalah Egit, bagaimana bisa Nara memberikan sesuatu yang  terbaik kepada Laras. Itu sama saja dengan memilih antara kebahagiaan sahabat atau perasaan diri sendiri. Mana yang harus Nara pilih? Tak ingin egois pun tak  ingin berkhianat.

Seperti siang ini, sepulang sekolah Laras langsung ke rumah Nara. Nara tahu Laras pasti ingin membicarakan Egit karena Laras hanya pergi sendiri ke rumah Nara.

“Nar, menurut kamu aku harus bagaimana?” Tanya Laras membuka pembicaraan.

“Apanya yang bagaimana, Yas?” Tanya Nara lagi.

“Aku ke Egit.. Kamu kan tahu aku ndak pernah deket sama cowok. Jadi aku harus bersikap bagaimana sama Egit?”

Nara tampak sedang berpikir. Kalau boleh jujur, Nara juga tidak pernah dekat sama cowok sebelumnya. Egit adalah orang pertama yang ia suka dan Nara benar-benar mengutuk perasaannya.

“Mmm... Kayanya kamu harus mengubah sikap dan sifatmu dulu, Yas.” Jawab Nara. Walaupun belum pernah menyukai seseorang, setidaknya Nara tahu sedikit mengenai kisah cinta yang ia baca di novel-novel koleksinya.

“Maksudnya? Emang sikap dan sifatku bagaimana, Nar?” Tanya Laras.

“Kalau kamu suka sama Egit, kamu jangan judes-judes lagi sama dia, kamu harus jadi cewek yang lemah lembut. Dari novel yang aku baca, cowok tuh seneng diperhatiin, sama seperti cewek.” Ucap Nara sambil menggosok hidungnya yang tak gatal dan tak beringus, hanya kamuflase saja untuk menutupi bibirnya yang sedikit tremor.

“Ooh... gitu ya, Nar? Okelah. Terima kasih yaaaa. Kamu emang sahabat terbaikku.” Laras memeluk erat Nara. “Oh iya, kamu sudah ingat belum sama cerita yang mau kamu ceritain kemarin?” Tanya Laras.

Nara menghembuskan nafasnya lembut, “Huff. Belum.”

“Ingat-ingat lagi dong, Nar. Kita ndak tahu umur, lho.. Ntar aku mati penasaran lagi sama cerita kamu.”

“Ihh, ngapain sih ngomong kaya gitu, Yas, nggak baik.”

“Makanya ingat-ingat lagi. Aku tuh penasaran banget sama cerita kamu. Kamu kan jarang-jarang cerita, tapi pas mau cerita malah lupa apa yang mau diceritain. Kalau tahu seperti itu kan kusuruh kamu cerita duluan kemarin.” Omel Laras.

Kalau aku yang cerita duluan, mungkin hari ini kamu yang berada diposisiku, Yas. Kita sama-sama belum pernah menyukai seseorang. Tapi saat menyukai seseorang, kenyataan benar-benar diluar ekspektasi.’

*****

“AYOO EGITTT!!!” Teriak Laras dan Nara. Sore ini mereka menonton Egit bertanding sepak bola di lapangan dalam rangka Bupati Cup. Nara sudah menggunakan bandana merah putih dan bendera dipipinya. Sedangkan Laras menggunakan pita merah putih dirambutnya yang ia kepang dua dan memegang pom pom. Dengan teriakan mereka yang menggelegar, Egit menoleh kearah sumber suara yang ternyata adalah kedua sahabatnya.

“GIT, TENDANG ITU BOLANYA DIDEPAN MATAMU!!!” Teriak Nara yang gemas karena Egit malah memperhatikan mereka. Egit yang diteriaki pun kembali fokus, menendang bola dihadapannya, melewati para bek lawan dan..... GOOOLLLL!!!!!

“GOLL!!!” Teriak para pendukung tim Egit. Egit berlari menghampiri timnya dan melakukan selebrasi dimana Egit ditimpa oleh semua temannya.

Melihat hal itu Laras memukul-mukul tangan Nara.

“Nar, itu ngapain Egit ditimpa?? Ntar dia ndak bisa bernafas, Nar.” Ucapnya khawatir.

“Yas, itu namanya selebrasi. Nggak mungkin Egit mati cuma gara-gara ditimpa sebentar doang.” Nara memutar bola matanya.

Laras menghembuskan nafas namun masih terlihat wajahnya yang cemas. Pertandingan telah usai. Egit menghampiri mereka ditepi lapangan. Laras menyodorkan air mineral pada Egit.
“Git, tadi kamu mainnya keren banget loh..” Puji Laras dengan nada bersemangat.

“Aku kan memang keren setiap saat.” Balas Egit menyombongkan diri.

“Iya sih...” Ucap Laras pelan.

“Hm? Iyasih?” Egit menyentuh kening Laras sehingga Laras membeku.

“Ndak panas kok. Tumben kamu muji aku? Biasanya juga judes banget kaya nenek lampir.” Ujar Egit sambil meminum air mineralnya.

“Nih, handuk. Lap tuh keringat kamu.” Nara menyodorkan handuk kecil pada Egit.

“Lap-in dong, Nar. Aku lagi minum nih.”

Nara memandang Laras yang sudah kembali dari kebekuannya tadi. Namun Laras menatap kearah lain, seperti enggan melihat Nara menyeka keringat Egit. Sungguh, rasanya sangat berbeda dari biasanya. Ada hawa-hawa canggung yang mendominasi atmosfer ditepi lapangan ini.

“Nggah ah, Laras aja. Ntar tanganku basah lagi kena keringat kamu.” Nara memberikan handuk kecil itu pada Laras. Kini Laras kembali tersenyum.

“Alah, sok jijik kamu.” Egit melanjutkan minumnya dan membiarkan Laras menyeka keringatnya. Setelah ia selesai minum, ia ambil handuk kecil itu dari tangan Laras dan melemparnya kepada Nara hingga handuk itu menempel diwajah Nara. Dengan menghembuskan nafas banteng, Nara mengejar Egit yang sudah lari pontang-panting ditengah lapangan. Dibukanya sendal yang ia pakai dan melemparnya kearah Egit sehingga terkena kepala Egit. Nara menarik baju Egit sampai ketepi lapangan lagi. Namun ia tak melihat Laras ditempat itu. Dilepasnya genggamannya pada baju Egit.

“Loh, kemana Yayas, Nar?” Tanya Egit padanya.

Namun Nara hanya diam, tak menjawab pertanyaan Egit.

*****

Nara bingung harus mencari Laras kemana lagi. Sudah tiga kali ia mengelilingi lapangan bola itu namun tak menemui Laras. Egit yang melihat Nara masih di lapangan bola itu pun menghampiri Nara.

“Kok belum pulang sih, Nar? Yayas belum ketemu ya?” Tanya Egit.

Nara menggelengkan kepalanya dengan mimik khawatir dan gestur gelisah.

“Ya sudahlah. Yayas sudah pulang duluan kali.” Nara masih tetap diam.

“Ayo kamu pulang sama aku aja.” Ajak Egit. Nara tampak ragu. Tapi ia kembali mengingatkan dirinya bahwa Egit tetap sahabatnya jadi tak ada yang perlu berubah diantara mereka. Laras pun mengikuti Egit.

*****

Sesampainya dirumah, Nara langsung menelpon Laras. Tadi nara tidak membawa telpon genggamnya sehingga baru menghubungi Laras ketika sudah dirumah.

“Yas, kamu sudah pulang, ‘kan? Kamu nggak apa-apa? Tadi aku nyariin kamu tapi nggak dapet-dapet. Aku khawatir banget sama kamu, Yas...” Ucap Nara.

“Buat apa kamu nyariin aku? Main aja tuh sama Egit.” Jawab Laras ketus.

“Kok ngomongnya gitu sih, Yas? Aku kan cuma ngejar Egit karena dia lempar aku pakai handuknya yang penuh keringat itu. Lagian tadi aku lempar dia pakai sendal kok, nggak ngapa-ngapain.”

“Tetap aja, Nar. Kamu belum pernah ngerasain sih gimana rasanya suka sama orang. Mau dia cuma senyum sama cewek lain kek, cuma natap kek, kamu bakal merasa cemburu, Nar. Apalagi sampai kejar-kejaran. Lagian kamu seharusnya mikirin perasaanku sebagai sahabatmu, bukan malah seperti tadi!” Laras memutuskan sambungan.

Nara terdiam, mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Laras.

Kamu benar, Yas. Kita bakal merasa cemburu ketika orang yang kita suka bahkan hanya tersenyum kepada cewek lain. Aku merasakannya tadi saat Egit senyum sama kamu. Kamu bilang aku tidak memikirkan perasaan sahabat? Lalu kamu apa, Yas?’

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

U N V E R E I N TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang