4. Move On

28.7K 3.1K 192
                                    


Setelah menghentikan mobilnya di bawah sebuah pohon rindang depan gedung perkuliahan Zahra, Aaro mengirim pesan kepada istrinya itu untuk memberitahu bahwa dirinya sudah sampai di depan dan meminta gadis itu supaya bergegas.

Sebetulnya Aaro enggan sekali dengan urusan jemput menjemput ini. Namun apa daya, jika sudah kepala suku yang memberi titah, maka itulah yang harus dilaksanakan. Di sinilah ia sekarang, menjemput Zahra kemudian mengantar gadis itu ke kelab untuk mengemasi barang-barangnya karena mulai sekarang dia akan tinggal di kediaman Blackstone.

Aaro menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Sampai detik ini, dirinya masih menyesali pernikahan Alea, tapi anehnya beberapa hari belakangan ini semenjak dirinya disibukkan dengan urusan Zahra dan ibunya yang berada di rumah sakit, dirinya hampir tak memiliki waktu untuk memikirkan Alea. Bahkan rasa sakit karena ditinggal menikah oleh Alea pun sudah tak sesakit sebelumnya. Semua itu karena energi dan pikirannya terus terkuras untuk Zahra di setiap menitnya.

Seperti saat ini, Aaro sudah bisa melihat bayangan istrinya yang baru saja keluar dari gedung perkuliahannga. Dia terlihat kerepotan membawa tumpukan map di depan dadanya hingga tidak bisa memerhatikan jalan dan tepat di undakan kecil yang mengarah ke halaman gedung, kakinya melangkah tanpa perhitungan membuat tubuhnya hilang keseimbangan dan terjatuh tersungkur ke depan. Tumpukan map pun terlepas dari pelukannya dan berserak di hakaman.

Aaro mengembuskan napas keras sebelum turun dari mobil untuk menolong Zahra. Inilah kesibukannya akhir-akhir ini, menjaga dan menolong istrinya yang memiliki kerecerobohan tingkat akut hingga sering sekali mengalami berbagai kecelakaan-kecelakaan kecil hampir di semua aktivitas yang dilakukan istrinya itu. Kecerobohan itu pula yang akhirnya membuat mereka berdua bertemu dan terjebak dalam sebuah pernikahan.

"Tidak bisakah untuk sekali saja, kau melakukan sesuatu dengan benar dan tidak terjatuh?"

Zahra yang masih bertahan dalam posisi tengkurap di halaman mendongak ketika mendengar suara bariton Aaro. Ia tersenyum kecut seraya menerima uluran tangan Aaro yang hendak membantunya berdiri.

Aaro menarik tangan Zahra dengan kuat membuat gadis itu terhuyung maju menabrak tubuhnya.

"Ehehehe, maaf." Dia tertawa konyol.

Aaro mendesah dengan tak sabar, tapi tetap memegangi tubuh Zahra sampai gadis itu mendapatkan keseimbangannya kembali. Setelah memastikan Zahra bisa berdiri tegak, Aaro melepaskan pegangannya kemudian berjongkok untuk mengumpulkan map dan isinya yang berserakan di halaman, sementara Zahra membersihkan kotoran yang menempel di bajunya.

Sekilas Aaro melihat kertas-kertas itu memiliki isi yang sama. Ia pun membaca dengan lebih teliti dan menemukan bahwa isi map-map itu adalah tugas dari beberapa orang yang berbeda. Itu artinya Zahra membawa pulang tugas teman-temannya. Ia mendongak menatap sang istri dengan alis saling bertaut. "Kenapa semua tugas-tugas ini harus ada padamu?" tanyanya dengan nada tajam yang mengintimidasi.

"Ohh, itu bukan apa-apa." Zahra mengulurkan tangan untuk mengambil tumpukan tugas itu dari tangan Aaro, tapi suaminya itu menahannya dan terus menatap dirinya tajam meminta penjelasan. "Ehh, itu tugas satu kelompok yang harus kami kerjakan sebelum mulai PPL—Praktik Kerja Lapangan—besok. Karena hari ini aku pamit pulang dulu, jadi ehh ...  semua aku yang mengerjakan."

"Maksudmu, kau mengambil alih semua tugas teman-teman sekelompokmu?!"

"Ya, karena aku pamit pulang dulu. Kan kamu yang memintaku untuk cepat-cepat?" Zahra menjawab gugup karena mata elang suaminya itu masih terus mendelik ke arahnya.

"Kau itu bodoh atau bagaimana? Mereka hanya memanfaatkanmu!" Aaro tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Entah karena alasan apa sehingga dirinya merasa begitu kesal melihat Zahra yang patuh saja ketika disuruh mengerjakan tugas semua anggota kelompoknya. "Di mana teman-temanmu sekarang?"

Terjebak Cinta Aaro (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang