Chapter 6

3.3K 397 32
                                    

Brakk!


Perlahan Jimin mengangkat kepalanya, menatap sendu pintu cokelat yang baru saja di tutup dengan cukup keras. Jimin memang tidak melihat wajah Seokjin saat meninggalkan ruangan itu, tapi dia tahu Seokjin pasti sangat marah padanya.

Jimin mengusap air matanya kasar, dia akan beranjak untuk mengejar Seokjin namun Namjoon menahannya, "Biarkan saja, jangan pikirkan kata-katanya." Namjoon menepuk pundak Jimin, sekedar menenangkannya.

Jimin menatap Namjoon, "Aku tidak sengaja melakukannya, dok. Aku—"

"Aku tahu,"

"Dia pasti marah padaku," ucapnya lirih.

Namjoon menggeleng, "Tidak."

"Tapi dia membentakku,"

Namjoon tersenyum, dia meraih tangan kiri Jimin, "Itu karena dia mengkhawatirkanmu,"

Jimin yang tadinya berniat menolak saat Namjoon akan memasangkan jarum infus di tangannya, kini terdiam. Hatinya menghangat, rasanya lega mendengar ucapan Namjoon.

"Aku akan bicara padanya nanti, tinggalah disini paling tidak sampai cairan infusnya habis." ucap Namjoon, pandangannya mengarah pada infus yang telah selesai dia pasang.

Jimin mengangguk dan kembali menatap ke arah pintu. Hatinya mendadak gusar, apakah yang Seokjin katakan benar? Sakit yang dia rasakan bukan saja karena penyakit maag yang dideritanya sejak kecil, tapi karena ada penyakit lain yang bersarang di tubuhnya.

Namjoon memerhatikan wajah Jimin, ini pertama kalinya dia bisa menatap Jimin dengan jarak sedekat ini setelah bertahun-tahun. Dan itu membuat Namjoon sadar bahwa semuanya sudah berubah. Kedua manik yang dulu selalu memancarkan binar bahagia, kini terlihat redup tertutup oleh luka yang tersimpan dalam setiap tatapannya.

"Dokter,"

Namjoon sedikit tersentak saat Jimin tiba-tiba balik menatapnya, untuk beberapa saat Namjoon memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain. Lelaki itu berdeham untuk menormalkan ekspresinya sebelum kembali mengarahkan pandangannya pada pemuda di hadapannya.

"Aku takut."

---

Seokjin merebahkan tubuh lelahnya pada sofa di ruangan kerjanya, berusaha menutup matanya barang beberapa menit untuk mengembalikan tenaganya. Dia tidak tidur semalaman karna harus berjaga dan dia juga tidak pulang kerumahnya sejak kemarin, bisa dibayangkan betapa kacaunya penampilan Seokjin ditambah lingkaran hitam yang terlihat jelas di area matanya.

"Dia pasti marah padaku,"

Seokjin menghela napas kasar, matanya yang semula terpejam kembali terbuka saat ingatan tentang ucapan anak itu terngiang dipikirannya. Entah kenapa kata-kata itu mengingatkannya pada Jimin, adiknya.

"Hyung pasti marah padaku,"

"Tidak, Jim."

"Tapi hyung berbicara keras seperti itu"

Seokjin kembali menutup matanya, berusaha menekan perasaannya kuat-kuat. Dia memang tidak langsung pergi setelah membanting pintu kamar Jimin begitu saja. Dia berdiam cukup lama disana, sedikit merasa menyesal karena sudah membentak Jimin tadi. Hingga tangannya yang berniat mendorong kenop pintu harus dibiarkan menggantung begitu saja di udara saat suara anak itu kembali terdengar.

FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang