Chapter 5

4.2K 481 44
                                    


Entah apa yang dia pikirkan hingga langkah kakinya membawanya sampai ke tempat ini, sebuah taman tak jauh dari tempat kerja paruh waktunya.

Pemuda itu berjalan seorang diri ditengah dinginnya udara sore itu. Irisnya menelusuri setiap sudut, memerhatikan anak-anak yang tengah bermain disana. Jimin tersenyum, dia juga pernah sebahagia mereka.

Jimin ingat, dulu kakaknya sering mengajaknya bermain di taman dekat rumah, menunggu ayah dan ibu mereka pulang bekerja lalu menjemput mereka. Mengingat kenangan itu rasanya membuat Jimin semakin merindukan keluarganya.

Brukk!

Tiba-tiba tubuh Jimin tersungkur ke depan saat sesuatu menabraknya dengan keras dari arah belakang, "Akh," Jimin meringis pelan, dia mengangkat tangan kanannya dan melihat luka gores disana, mungkin terkena permukaan batu yang tajam.

"Aku minta maaf,"
Jimin mengangguk, kemudian mendongak menatap seseorang yang tiba-tiba berjongkok di hadapannya.

"Sepertinya tanganmu terluka." orang itu, Kim Seokjin berujar cemas, mengundang perhatian Jimin padanya.

Jimin tertegun sesaat menatap sepasang manik pualam di hadapannya, atensinya kemudian teralih saat merasakan tangannya ditarik pelan. "Kita obati dulu lukamu,"

Pemuda yang lebih muda itu menunduk, menatap tangan Seokjin yang menggenggam tangannya, beberapa detik mereka bertahan dalam posisi seperti itu, sampai sesuatu yang tidak menyenangkan kembali menyerang tubuh Jimin.

Jimin menggigit bibir, menahan rintihannya. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya bahkan kini matanya terpejam rapat.

"Kau tidak apa-apa?" Seokjin kembali bersuara karena Jimin tak kunjung merespon ucapannya.

Perlahan Jimin mengangkat kepalanya lalu menggeleng pelan, "Saya tidak apa-apa, maaf saya harus pergi." Jimin menarik kembali tangannya yang berada dalam genggaman Seokjin, kemudian berbalik pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

Langkahnya memelan seiring dengan kakinya yang mulai terasa lemas, pandangannya tiba-tiba mengabur dan semuanya terlihat berputar-putar di kepalanya, menimbulkan rasa sakit dan mual di perutnya.

Suara-suara di sekitarnya terdengar berdengung di telinga Jimin, kerlip lampu terlihat semakin jauh di tatapannya dan semua itu terlihat seperti lingkaran noda gelap.

Dan setelahnya Jimin dapat mencium aroma tanah yang menguar disekitar hidungnya. Matanya terlalu berat untuk terbuka, kesadarannya semakin menipis saat sayup-sayup suara derap langkah terdengar mendekat kearahnya.

---


"Aku tidak tahu kalau kau juga bisa mencemaskan orang lain." ucap Namjoon setelah mereka terdiam cukup lama.

Seokjin yang duduk di depannya berhenti mengetuk-ngetukan jarinya di meja, lalu menatapnya sekilas, "Aku hanya kasihan padanya." jawab Seokjin yang langsung ditanggapi dengan tatapan tak terbaca dari Namjoon.

"Okay, anggap saja seperti itu." Namjoon kembali menyesap kopinya, lalu terkekeh pelan melihat reaksi Seokjin yang melongo karena ucapannya. Tatapan pria berlesung pipi itu beralih pada isi cangkir kopinya yang hanya tersisa setengah.

"Anak itu memang layak dikasihani." ucapnya kemudian, sangat lirih bahkan Seokjin harus menajamkan pendengarannya untuk bisa mendengar ucapan Namjoon.

"Kau seperti sudah mengenalnya,"

Namjoon mendongak, menatap langsung kedua obsidian gelap di hadapannya. "Kami pernah bertemu, tapi itu dulu. Saat dia masih kecil." pandangan Namjoon menerawang, "Aku tidak yakin dia masih mengenaliku."

FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang