Seberkas Cahaya Hati

13 1 2
                                    

Kokok ayam bersahutan menyambut pagi yang dingin. Enggan rasanya meninggalkan selimut yang begitu lembut nan hangat. Apalagi bertemu dengan air dingin yang sejatinya sangat menyegarkan. Selalu teringat ketika sekujur badan menggigil saat baru saja membasuh muka. Embun pedesaan memang berbeda, wangi rumput bahkan petrikor akibat hujan semalam berbaur menjadi satu. Menimbulkan semangat dan mengulik rasa penasaran untuk berjumpa secara langsung.

Aku mengabaikan rasa enggan, rasa dingin, dan rasa hangat bantal yang melambai-lambai, bergegas kularikan kaki menuju jendela kamar. Tirai tersibak dan terlihatlah malam yang semakin menjauh pergi, berganti semburat jingga di ujung timur sana.

Jendela kayu membuka lebar seketika itu udara dingin menyapa tangan yang kujulurkan. Sejenak rasa sejuk merasuk hingga sanubari, perlahan namun pasti rasa hangat di mataku membentuk genangan air mata yang kubiarkan tertumpah. Memori masa lalu yang mendorong isak tangisku keluar.

Samar-samar, kuingat kembali apa yang terjadi tiga tahun silam.

"Hei, Ta, sini coba kejar aku kalau bisa," seruku kala itu, saat melihat Lita hanya berdiri tegak terlihat malas bermain.

"Huft... malas Sar," jawab Lita dengan keengganan yang luar biasa. Wajahnya murung, lalu terduduk di atas rumput jepang di halaman rumahnya yang luas itu.

Aku yang sedang bersemangatpun akhirnya menyerah, ikut duduk di sampingnya dan bertanya 'kenapa' dengan isyarat cemasku juga.

"Papa mau pindah kerja ke kota, Sar," ucap Lita dengan suara bergetar, "aku sama mama juga harus ikutan."

Lalu selanjutnya yang kuingat adalah sebuah pelukan dan air mata tanda perpisahan dengan sahabat terbaikku; Lita.

Nostalgiaku berakhir karena menyadari bahwa mentari semakin tinggi. "Bisa-bisa terlambat nih." Rutukku gemas dan berlari keluar kamar. Air mata yang tadi sempat terjatuh sepertinya sudah kuseka dengan kedua tangan. Dalam sekejap, penampilanku sudah berubah dengan seragam putih abu-abu yang masih saja terlalu besar dengan ukuranku. Setelah memberi polesan akhir pada wajahku dengan bedak bayi, aku sudah sangat siap untuk belajar di sekolah yang dapat kujangkau dengan sepeda kesayangan.

***

Rutinitasku begitu-begitu saja setiap harinya. Sekolah, pulang, mengerjakan PR atau istirahat, lalu sorenya menjemput mama di sawah. Aku sebagai anak satu-satunya yang mama punya, sudah di pastikan bahwa akulah yang akan membantunya. Bapakku dimana? Terakhir aku bertemu dengannya beliau berpamitan akan merantau ke kota besar dan hingga kini tak pernah kembali. Berulangkali mama meyakinkanku bahwa bapak akan kembali, tapi saat itu juga aku menolak mentah-mentah.

Mengapa masih mengharapkan orang yang sudah tak peduli dari awal terhadapku? Terlihat jahat, memang. Tapi terkadang hati nurani takkan bisa dibohongi oleh apapun.

Sepanjang jalan menuju sawah, pikiranku penuh dengan masa lalu yang kelam. Satu-satunya lelaki panutan dalam hidupku pergi entah kemana, lalu saat aku bertemu teman yang akhirnya bersahabat baik, pergi pula dalam hidupku dan satu lagi, hidup serba kekurangan yang kualami sejak dulu.

Perekonomian keluarga kecil ini lumayan membaik saat mama berhasil menabung hasil kerjanya sebagai buruh serabutan dan akhirnya membeli sepetak sawah dengan harga murah. Itulah yang menopang kehidupanku kini dan melanjutkan sekolahku ke jenjang menengah atas.

"Ma," sapaku pelan karena jarakku dengan gubuk tempat mama beristirahat tidaklah jauh, namun mama membelakangiku.

"Sarah ... mama kan udah bilang nggak usah ke sawah sore-sore," mata teduh mama seakan mengintimidasi gerak-gerik yang kulakukan. "Kamu butuh istirahat yang cukup, Sar," tukas mama dengan tangannya yang sedang kucium.

World - Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang